Jumat, 07 Juni 2013

Tauhid Kepada Allah bagian 2

Laa Illaaha adalah rukun penafian dalam kalimat yang agung ini dan itu telah di jelaskan oleh Allah Ta’ala dalam definisi al-‘urwah al-wutsqa’ dengan firman-Nya : “barangsiapa ingkar kepada thaghut” [QS. Al-Baqarah : 256], dan dalam dakwah para Rasul dengan firman-Nya: “jauhilah thaghut” [QS. An-Nahl : 36]. Dan sebab Allah mendahulukan penafian ini terhadap itsbat adalah karena sangat penting dan urgennya penafian, sehingga itsbat [ibadah kepada Allah] tidaklah sah tanpa penafian ini [keberlepasan dari segala sesuatu yang di ibadati selain Allah], yaitu tidak sah dan tidak diterima serta tidak bermanfaat Iman kepada Allah, shalat, shaum, zakat dan haji tanpa kafir kepada thaghut, atau dengan makna lain: ibadah kepada Allah tidak akan bermanfaat bila disertai dengan peribadatan kepada selain-Nya, akan tetapi harus beribadah kepada Allah saja dan berlepas diri dari peribadatan kepada selain-Nya.

Dan Illallah adalah rukun itsbat [penetapan], sedangkan ia itu mengandung peribadatan kepada Allah saja, dan Allah ta’ala telah menjelaskan dalam definisi al-‘urwah al-wutsqo’  dengan firman-Nya: “dan beriman kepada Allah” . [QS. Al-Baqarah : 256] dan dalam dakwah para Rasul semuanya dengan firman-Nya “sembahlah Allah saja” . [QS. An-Nahl : 36].

Mungkin saja kalian hai para hakim berkata : “siapa yang mengikari hal ini dan siapa yang menentangnya??”, maka kami akan menjawabnya dengan mengatakan : “Kalian dan pemerintah kalian… Sesungguhnya kami mengajak manusia kepada Tauhid yang agung ini, sedang kalian malah mengajak mereka kepada yang membatalkan tauhid ini berupa kemusyrikan yang nyata lagi jelas”.

Mungkin kalian juga mengatakan : “bagaimana itu ? dan apakah kami shalat kepada selain Allah? Atau menyeru selain Allah? Atau shaum kepada selain Allah, atau meyembelih dan nadzar kepada selain Allah? Atau kami memerintahkan manusia kepada hal seperti itu??”.

Maka kami akan menjawab kalian : “Tidak ! akan tetapi orang yang beribadah kepada selain Allah diantara kalian, maka dia itu shalat kepada Allah, shaum kepada Allah, dan menyeru Allah, menyembelih qurban karena Allah dan nadzar untuk Allah, akan tetapi dia dalam bidang-bidang hukum dan aturan mengambil hukum tersebut dari selain Allah, sehingga dia itu menyekutukan bersama Allah tuhan-tuhan pengatur dan tuhan-tuhan lain yang di ibadati, bukan dalam shalat dan shaum serta yang lainnya, akan tetapi dalam penyandaran hukum. Sedangkan sudah diketahui dari agama kaum muslimin bahwa pengambilan dan penerimaan hukum [aturan/undang-undang] dari selain Allah adalah ibadah seperti sujud, rukuk dan shalat kepada selain Allah, sedangkan dalil-dalil terhadap hal itu dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya ShallAllahu ‘alaihi wasallam adalah :

1.    Ada dalam Hadits yang shahih dengan penggabungan riwayat-riwayatnya yang telah di riwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan ahli Tafsir, dari ‘Adiy Ibnu  Hatim RadiyAllahu ‘anhu –sedang dia itu nashrani kemudian masuk Islam- bahwa ia datang kepada Nabi shallAllahu ‘alahi wasalam, terus mendengar Beliau membaca firman Allah –Surat At-Taubah : 31-, maka Adiy berkata : “wahai Rasulullah, orang nashrani tidak pernah beribadah kepada mereka”, maka Rasululloh shallAllahu ‘alahi wasalam bersabda : “bukankah mereka menghalalkan yang haram bagi mereka dan mengharamkan yang halal atas mereka –yaitu melaksanakan kekuasaan pembuatan hukum dan perundang-undangan- lalu orang-orang itu mengikuti mereka?”,  lalu ia berkata : “Ya”, Rasulullah shallAllahu ‘alahi wasallam bersabda : “maka itulah peribadatan mereka terhadap para ‘ulama dan para rahib itu”.
Dalam Hadits ini terdapat penjelasan bahwa ketaatan orang-orang nashrani terhadap ‘alim ‘ulama dan para rahib mereka dalam pembuatan hukum adalah bentuk peribadatan kepada selain Allah dan syirik akbar yang mengeluarkan dari agama Islam. Oleh sebab itu Imam Muhammad At-Tamimi Rahimahullah membuat bab dalam kitabnya At-Tauhid Alladzi Huwa Haqqullahi ‘Alal ‘Abid untuk ayat ini dengan ucapannya : “bahwa barang siapa mentaati para ‘ulama dan para pemimpin dalam pengharaman apa yang telah Allah halalkan dan penghalalan  apa yang Allah telah haramkan, maka dia telah menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”.

2.    Diantara dalil yang jelas terhadap hal itu juga adalah apa yang di riwayatkan oleh Al-Hakim dan yang lainnya dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas tentang sebab turunnya firman Allah :“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. [QS. Al-An’am : 121], bahwa sejumlah orang dari kaum musyrikin membantah kaum muslimin karena sebab kaum muslimin tidak memakan bangkai , mereka berkata : “seekor kambing mati di pagi hari siapa yang membunuhnya ?” , maka kaum muslimin menjawabnya : “Allah”. Kaum musyrikin berkata lagi : “apa yang Allah bunuh atau apa yang di sembelih oleh Allah dengan pisau dari emas adalah haram –mereka maksudkan bangkai- sedangkan hewan yang kalian sembelih dengan pisau dari besi adalah halal ??!”. Maka AllahTa’ala menurunkan surat Al-An’am: 121.

Ini adalah hukum vonis yang tegas lagi jelas dari Sang Penguasa langit dan bumi, bahwa orang yang mengikuti undang-undang buatan walaupun dalam satu kasus atau dalam satu masalah maka dia itu musyrik terhadap Allah Ta’ala lagi telah menjadikan tuhan pengatur selain Allah, walaupun dia tidak shalat atau sujud atau ruku’ terhadapnya, dan bahwa ketaatan dalam hukum adalah ibadah yang wajib mentauhidkannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan barangsiapa memalingkannya kepada selain Allah Ta’ala maka ia telah beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.

Bila kalian telah mengetahui hal ini dan telah nampak di hadapan kalian diantara kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang jelas lagi terang adalah menjadikan selain Allah sebagai pembuat hukum, sama saja baik si pembuat hukum ini ‘ulama atau penguasa atau wakil rakyat, atau kepala suku [adat], dan kalian mengetahui bahwa hukum Allah ta’ala telah menetapkan syirik dalam kitab-Nya, dimana Dia berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [QS. An-Nisa’: 116].

Kemudian kalian mengetahui bahwa ayat 25 dari undang-undang dasar kalian (Yordania, -ed) menjelaskan bahwa : “kekuasaan pembuatan hukum berada pada raja dan para anggota majelis umat”, dan pasal 24 menegaskan bahwa : “Rakyat menjalankan kekuasaannya sesuai dengan cara yang di atur dalam undang-undang dasar”.

Maka kalian mengetahui, bahwa setiap orang yang menerima Dien yang baru dan kekafiran yang nyata lagi menentang agama Allah ta’ala dan tauhid-Nya ini adalah telah menjadikan si pembuat hukum itu sebagai Arbaab [tuhan-tuhan] selain Allah Ta’ala yang dia sekutukan mereka itu bersama Allah dalam ibadahnya. Allah Ta’ala berfirman :

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?” [QS. Asy-Syura : 21]

Dan Firman-Nya ta’ala:

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” [QS.Al-Maa’idah: 50]

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam penafsiran ayat ini : “Allah ta’ala mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam [paten] yang meliputi segala kebaikan lagi melarang dari segala keburukan, dan dia malah berpaling kepada selain-Nya [yaitu] berupa; pendapat-pendapat dan hawa nafsu serta hukum-hukum yang dibuat oleh manusia tanpa sandaran dari syari’at Allah, sebagaimana orang-orang jahiliyah dahulu memutuskan dengan kesesatan-kesesatan dan kebodohan-kebodohan [yaitu hukum] yang mereka letakkan dengan fikiran dan hawa nafsu mereka, dan sebagaimana tattar memutuskan dengan politik-polotik kerajaan yang diambil dari raja mereka jenggis khan yang membuatkan ilyasiq bagi mereka. Dan Ilyasiq itu adalah kitab hukum yang berisi kumpulan-kumpulan hukum yang dia kutip dari berbagai ajaran, yaitu yahudi, nashrani, agama Islam dan yang lainnya, serta di dalamnya terdapat banyak hukum yang dia ambil dari pandangan dan pikirannya semata, kemudian kitab itu ditengah anak keturunannya menjadi undang-undang yang diikuti, yang mereka kedepankan melebihi Kitab Allah dan Rasul-Nya shallAllahu ‘alahi wasallam, maka barangsiapa melakukan hal itu maka dia KAFIR, yang wajib diperangi sampai dia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, sehingga selain hukum-Nya tidak boleh di jadikan acuan dalam hal sedikit maupun banyak”.

Dan dari uraian yang telah lalu, engkau mengetahui hakekat perseteruan dan permusuhan antara kami dengan pemerintah ini, dan engkau mengetahui inti pertentangan antara ahli Tauhid dengan anshar dan aparat-aparat pemerintah tersebut. Jadi, pertikaian itu bukan untuk memperebutkan kursi atau jabatan atau tanah atau harta atau kedudukan sebagaimana yang diduga oleh banyak orang, dimana kamu melihat bahwa para pengikut Tauhid yang murni ini adalah tergolong orang yang paling jauh dari jabatan-jabatan di pemerintah ini, bahkan sesuatu yang paling dahulu mereka dakwahkan terhadap kamu –bila mereka itu tulus dan bila kamu tergolong para pemegang jabatan-jabatan yang loyal lagi membela-bela kemusyrikan dan undang-undang serta para penganutnya, baik kamu ini hakim atau penguasa atau intelejen atau aparat militer- adalah lari kepada Allah dengan meninggalkan jabatan-jabatan itu dan menjauhinya supaya bisa selamat dari kemusyrikan ini dan para penghusungnya, sehingga firman Allah ta’ala“beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu” . [QS. An-Nahl: 36] adalah jalan hidup mereka.

Dan begitu juga permusuhan tersebut bukanlah terhadap pengingkaran hal-hal furu’ [cabang-cabang] atau pembenahan hal-hal yang sifatnya parsial dalam realita yang rusak ini, seperti merusak bar, atau diskotik atau tempat-tempat maksiat lainnya. Dan barangsiapa mengira bahwa itu adalah inti, akar dan hakikat permusuhan antara kami dengan mereka, maka sesungguhnya orang itu tidak memahami hakikat dakwah para Rasul dan tidak mengetahui sebab perseteruan yang sebenarnya antara mereka dengan kaum-kaumnya, sehingga orang yang menyibukan diri dengan hal-hal itu adalah seperti orang yang menyibuki mengobati luka-luka di badan yang terjangkit kanker yang akut lagi mematikan.


Perseteruan itu hai kaum… adalah lebih dasyhat dan jauh lebih besar dari hal itu, sesungguhnya perseteruan itu adalah dalam hal Tauhid dan Syirik, dalam hal kekafiran dan Iman, sesungguhnya ia adalah kekekalan di dalam surga atau dalam api neraka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar