indonesia
saat ini diperhadapkan dengan banyak permasalahan, Apakah ini wajah indonesia
yang sebenarnya? Media massa baik swasta maupun negeri sibuk mengurusi, mencari
dan menampilkan wajah-wajah wakil rakyat dengan moral dan kebobrokan mereka
atas hak rakyat. Inikah ciri khas pemimpin di negara ini? Bukankah, pemimpin (leader)
adalah sosok yang antara lain mampu menggerakan perubahan sesuai visinya,
berpikir terbuka, pembelajaran, dan mampu bertindak di tengah krisis sekali
pun. Ataukah, wakil rakyat yang dipilih rakyat itu hanya sebagai seorang
pimpinan (manager) yang hanya dapat bekerja dalam keteraturan, mereka menduduki
jabatan hanya karena modal surat keputusan (SK) yang dimilikinya atau diangkat
oleh atasan dan rakyatnya secara demokrasi.
Krisis selalu
mengubah banyak hal. Cara kerja lambat dan konvesional jauh dari kreativitas di
masa lalu tentu saja tidak dapat dipertahankan. Jika melakukannya, maka bahaya
kehancuran akan semakin mendekatkan dirinya. Lihat saja, berbagai kejadian di
sekeliling kita yang terjadi akibat kelalaian yang diperbuat. Persoalan makelar
pajak, kisruh seputaran preman, sengketa tanah dan berbagai kasus korupsi yang
terjadi. Seakan memberi gambaran bahwa belum tuntas masalah yang dihadapi,
kemakmuran berubah menjadi bencana, busung lapar terus melanda dan mengancam
generasi setiap saat, birokrasi lamban, kemiskinan, dst. Semua adalah buah yang
harus dituai dan dirasakan sebagai hasil kerja dari pemimpin yang cuma
pimpinan, ataupun kalau pemimpin adalah pemimpin yang tidak cerdas (tidak SQ
based).
Dilip
Mukerjea (1998) menyebut era krisis saat ini sebagai era daya saing kecerdasan
(The Age of Competitive Intelligent). Artinya, setiap goncangan yang dihadapi
harus dijawab dengan kecerdasan, kreativitas dan cara berpikir yang “canggih”
dalam merespon setiap perubahan. Dan hanya pemimpin yang mampu memiliki
kapasitas seperti inilah yang akan berhasil. Pemimpin yang cerdas akan
menentukan entitas yang dipimpinnya menjadi pemenang (winner) dan tidak menjadi
korban sebagai potongan sejarah yang terhapus.
N. N. Sawitri
(2010) dalam bukunya, Fostering Your Child to be a Great Leader in Crisis
mengemukakan bahwa krisis merupakan bagian dari kehidupan setiap orang yang
dapat melemahkan ataupun menguatkan eksistensi seseorang. Melalui krisis, ada
pembelajaran untuk lebih responsif terhadap berbagai perubahan yang terjadi
pada diri sendiri, masyarakat, ataupun negara, sehingga dapat mengubah sesuatu
yang bersifat mengancam menjadi tantangan yang progresif. Krisis bukan muncul
secara tiba-tiba, melainkan akumulasi dari berbagai keputusan-keputusan yang
tidak tepat di masa lalu. Lalu bagaimana membentuk sosok pemimpin masa depan yang
berkualitas dalam menghadapi krisis?
Saat ini
untuk menjawab tantangan krisis adalah bukan merubah apa yang telah terjadi
lewat perubahan tetapi menjadikan setiap masalah itu momen penting untuk
menguji kualitas kepemimpinan yang telah ada. Tantangan yang berbeda menuntut
cara yang berbeda pula, ibarat sebuah perjalanan, dibutuhkan bekal yang
disesuaikan dengan lama dan jarak yang akan ditempuh. Sebab, masa depan tidak
datang begitu saja, melainkan dia harus diciptakan. Sayangnya, negara,
pemerintah dan individu lebih memilih mempertahankan apa yang terjadi saat ini
(status quo) dari pada mengoreksi kerancuan yang terjadi. Pembiaran ditoleransi
sepanjang tidak mengganggu kepentingan pihak-pihak tertentu, sehingga tanpa
disadari neraca ternyata condong ke satu sisi. Keseimbangan bergeser secara
alamiah karena ketidakadilan yang “sengaja” diciptakan oleh manusia sendiri
untuk melindungi kepentingannya.
Beberapa
fakta yang ditampilkan Sawitri (2010), memberikan gambaran bahwa alam Indonesia
saat ini tidak sedang dimanipulasi namun terjadi. Banyak keluarga hidup di
bawah garis kemiskinan, perlindungan hukum yang sangat minim, jumlah
pengangguran dan pengemis semakin mendominasi seperti wabah pesakitan yang
sentral, perencanaan tata laksana yang amburadul, busung lapar merajalela
sekalipun berada pada daerah yang tergolong sentra penghasil pangan, kecelakaan
transportasi yang meningkat justru tidak membuat pembelajaran tetapi dijadikan
sebagai bencana yang harus dilakukan lagi kejadiannya, konflik yang terjadi di
berbagai daerah. Tentu semua fakta ini semakin menguatkan kesimpulan bahwa
kepemimpinan yang dimiliki bangsa Indonesia tidak memiliki visi kepemimpinan
yang merakyat. Hanya melakukan kerusakan dan melanggengkan status quo atas nama
pembangunan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
Krisis dan
turbelensi saat ini menuntut respons yang tidak hanya cepat, melainkan juga
tepat. Ibarat berdiri di tepi jurang, apakah akan pasrah terjatuh hingga ke
dasarnya yang terjal atau berpikir dengan perencanaan yang panjang lebar? Tentu
saja keduanya juga akan memberi hasil yang sama, karena yang dibutuhkan adalah
tindakan dan kecepatan dalam mengambil keputusan sehingga dapat terhindar dari
bahaya. Dengan demikian, dibutuhkan kepemimpinan yang berkelas, yaitu pemimpin
yang mampu bertindak cepat, mengayomi dan mampu mensejahterahkan rakyatnya
bukan sebaliknya hanya mementingkan kelompoknya.
“Vision,
conviction, and courage made the diffeence for allo us”
___ Linsay
Levin ___
Intinya,
pemimpin yang menyingkapi kerakyatan yang dipimpin dalam hikmat dan
kebijaksanaan adalah para pemimpin yang bergerak dan bekerja dalam visi yang
jelas. Saat ini yang dibutuhkan adalah kepemimpinan visioner, karena dengan
visi, mampu menggerakan dan mengatasi krisis dengan tindakan bukan hanya untuk
kepentingan diri sendiri atau kelompoknya, tetapi untuk lingkungan dan
negerinya. Pemimpin visioner lahir dari kepekaan dan perenungan mendalam akan
realitas yang dihadapi. Sedangkan visi (vision) lahir dari senjangnya realitas
dan idealias, sehingga mendorong seseorang untuk mengejawantahkan idealitas
dalam pikiran-pikirannya dalam bentuk tindakan-tindakan yang nyata. Dan
tindakan yang nyata itu disebut sebagai misi (mission). Namun, hal mendasar
yang perlu dijawab adalah di manakah dapat ditemukan pemimpin seperti ini?
Siapa lagi
kalau bukan generasi berikutnya, mereka adalah anak-anak. Merekalah yang dapat
dijadikan sebagai pemimpin itu. Mereka harus dipersiapkan untuk menghadapi
tantangan perubahan, mengisi kehidupan ini sebagai pemimpin yang layak
diandalkan untuk lingkungannya atau minimal buat diri mereka sendiri. Untuk
itu, sebaliknya pembangunan harus lebih banyak dititik beratkan untuk membangun
kualitas mereka.
Dapat diakui
apa yang telah dicanangkan dan pemerintah untuk peningkatan kualitas anak
sangat memadai tapi yang terjadi sasarannya tidak tercapai. Misalnya: Dana BOS.
Jangan lagi dipertanyakan untuk apa tujuannya? Masih banyak kendala yang perlu
dipertanyakan lagi? Masih banyak anak-anak yang belum terorganisir di jalanan,
masih banyak juga yang belum mendapatkan pendidikan yang layak, lebih dari itu
masih banyak anak-anak yang hidup di bawah garis kemiskinan, berjuang dalam
pesakitan gizi buruk dan berbagai macam kendala yang dihadapi mereka sebagai
anak bangsa. Inikah bukti bahwa wajah pemimpin di negara ini telah berhasil
menjalankan visinya?
Pemerintah
tetap dan mesti menjalankan sistimnya tetapi tidak harus dipaksakan. Pemerintah
harus tetap berada pada jalurnya, yakni; sebagai regulator, fasilitator,
inisiator dan dinamisator. Pemerintah harus tetap berada pada jalurnya.
Reinventing Goverment, Pemerintah harus berada pada pilihan yang disesuaikan
dengan kondisinya. Prinsipnya kalau rakyat sudah mampu, pemerintah harus mundur
dan mengawasi saja. Sebab, kalau tidak dilakukan maka yang terjadi adalah
Konflik of Interest.
”
Performance in control by duplicate is good goverment. Distinity Capability is
market and future market in follow individual, people, and networking. “
Kendala ini
diyakini pemerintah sampai sekarang belum mampu menilai kebijakannya sendiri.
Tidak mampu menjalankan amanah rakyat. Karena konflik tersebut. Pemerintah
hanya sibuk mengurusi apa yang menjadi kendalanya, pemerintah tergiur dengan
pola menjalankan bisnisnya tanpa melihat relationship-nya sebagai wakil rakyat.
Pemerintah sibuk mengurusi ekonomi dalam bisnisnya sendiri (baca: monopoli).
Pada hal secara signifikan, pola bisnis pemerintah adalah:
1. Ketika
ada monopoli atau keterbatasan pasar. Di mana kehadirannya membantu
keterbatasan distribusi di pasar.
2. Menghapuskan
pemburu rente. Sebagai mana yang diketahui bahwa, permintaan terjadi ketika
adanya perputaran barang dan jasa.
3. Kenyataan
yang terjadi saat ini, pemerintah masih berada dalam kesalahan masa lalu. Tidak
berubah, karena masih berada dalam sikap tidak membatasi tapi memburu dengan
batas waktunya jika sudah berada pada jalur berkompetisi. Solusi yang dapat
diberikan sebagai sikap menyingkapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan
kebijaksanaan dalam mengatasi krisis dan kepemimpinan adalah pemerintah harus
mampu mendudukan kembali prinsip goverment-nya. Jangan pemerintah menjadi Service
Agency, tidak mempunyai peran dan fungsi kontrol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar