Peran Agama dalam Masyarakat
Mungkin tidak semua dari kita sadar bahwa lingkungan kita semakin tidak
nyaman, baik secara lahiriyah apalagi
secara batiniyah, karena berbagai
kerusakan yang muncul dan terus bertambah seiring dengan perjalanan waktu.
Kerusakan moral individu dan kemudian bertransformasi menjadi kerusakan moral
massal. Kita akrab dengan berita kekerasan di berbagai institusi, mulai dari
institusi non-formal seperti keluarga sampai pada institusi formal seperti
institusi pendidikan. Korupsi dan tindakan koruptif juga mengakar dan mendarah
daging baik di institusi pemerintah maupun swasta. Pergaulan bebas menjadi
kebanggaan, seks bebas menjadi
kebiasaan, aborsi menjadi hal yang normal, tindakan asusila menjadi susila dan
perusakan lingkungan menjadi lumrah. Padahal kita hidup dalam suatu negara yang
diklaim sebagai negara hukum dan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,
hidup dalam masyarakat yang menglaim dirinya sebagai masyarakat bermoral,
religius, beradab dan klaim-klaim yang sangat menyejukkan hati dan
menenteramkan jiwa bila didengar. Apakah predikat-pridikat ini hanya sekedar
“kulit” yang “membungkus” masyarakat saja. Lalu di mana agama yang secara
tertulis menjadi identitas kita? Mengapa ia tidak berdaya mengendalikan segala
kerusakan yang ada di lingkungan masyarakat? Atau ajaran agama telah
dimanipulasi untuk menjustifikasi tindakan-tindakan destruktif?
Dalam hal ini, ada empat kelompok manusia, yaitu pertama, orang yang “lari” dari ajaran agama; kedua, orang yang memahami agama dan
menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok; ketiga, orang yang memahami agama dan
menjalankannya untuk memperoleh keshalihan individu;
keempat, orang yang memahami
agama dan mentransformasikannya, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial
bermasyarakat.
Pertama, orang yang “lari” dari ajaran agama. Orang-orang
seperti ini pada dasarnya tahu ajaran agama, namun mereka merasa agama hanya
mengekang kebebasan individu untuk berekspresi dan tidak membawa keberuntungan.
Orang-orang seperti ini pada umumnya tidak lagi menggubris ajaran agama
sehingga apabila teks-teks agama digunakan untuk mengajak mengerjakan atau
meninggalkan sesuatu tidak akan lagi mempan. Dan bahkan mungkin mereka sudah
tidak takut neraka dan tidak tertarik dengan surga yang dijanjikan oleh Allah
SWT.
Mereka cenderung mengutamakan akal dalam menimbang untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu. Dengan pertimbangan akal ini maka yang akan muncul
adalah pemikiran pragmatis yang hanya memandang keuntungan dan kerugian yang
praktis dan cepat. Artinya mereka mau melakukan atau meninggalkan sesuatu kalau
hal itu akan mendatangkan keuntungan. Lalu apakah menggunakan akal untuk
mempertimbangkan sesuatu adalah tindakan yang salah? Tidak. Menggunakan
pertimbangan akal dalam memandang setiap persoalan bukanlah suatu kesalahan.
Bahkan menggunakan akal hukumnya wajib bagi yang berakal. Yang menjadi
pertanyaan adalah sejauhmana manusia dapat melepaskan akalnya dari lingkaran
hawa nafsu ketika menggunakannya untuk mempertimbangkan masalah? Harus diakui,
akal mempunyai kecenderungan positif dan negatif. Dan hanya sedikit orang yang
mampu membersihkan akalnya dari motif-motif negatif.
Kedua, kelompok yang memahami agama dan
menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kelompok ini tahu
dan mengerti bahwa ajaran agama menunjukkan dan mengajak manusia pada jalan
kebenaran. Apabila pertunjukan itu dilaksanakan maka manusia akan dapat
menjalani hidup dengan penuh ketenangan dan ketenteraman, baik secara individu
maupun sosial.
Melihat kelompok ini mungkin kita berfikir tentang kelemahan peran agama
dalam melarang manusia dari tindakan-tindakan negatif dan menggiring mereka
kearah yang lebih baik. Pada dasarnya bukanlah agama itu sendiri yang salah
atau lemah, akan tetapi mereka menyalahgunakan ajaran agama yang mereka pahami.
Namun, sering sebenarnya pemahaman agama mereka lemah dan salah sehingga tidak
dapat menjangkau apa sebenarnya dikehendaki oleh agama. Parahnya lagi mereka
sering tidak menyadari kelemahan itu dan dengan kepercayaan diri yang tinggi
malah menggunakan tameng agama untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya dilarang
oleh agama dan mereduksi ajaran agama itu sendiri.
Kelompok ini secara kasat mata pandai dan mengerti ajaran agama, namun
tindakan mereka tidak mencerminkan ajaran agama yang dia anut. Melakukan
tindakan yang meresahkan atau bahkan merugikan dan mendhalimi masyarakat .
Meskipun demikian, ia masih merasa benar dengan tindakannya itu dan
menjustifikasinya dengan dalil-dalil atau teks agama. Mereka mengingkari bahwa
pada dasarnya agama sama sekali tidak punya kepentingan dalam visi dan misinya
dalam kehidupan makhluk di dunia ini kecuali untuk membuat suatu tatanan demi
kebaikan makhluk itu sendiri.
Ketiga, kelompok yang memahami agama dan menjalankannya
untuk memperoleh keshalihan individu. Banyak orang yang memahami dan
menjalankan agama, namun hanya untuk dirinya sendiri. Orang seperti ini rajin
dan konsisten (istiqomah) menjalankan
ibadah-ibadah mahdhah. Akan tetapi
orientasi ibadahnya hanya berorientasi pada keselamatan dirinya sendiri tanpa
mempedulikan orang lain dan lingkungannya. Secara individu orang seperti ini
memang cukup shalih, namun secara sosial ia belum pantas disebut seorang yang
shalih.
Keempat, orang yang
memahami dan mengamalkan ajaran agama, dan mentransformasikannya dalam
kehidupan sosial bermasyarakat. Orang seperti ini memahami agama sebagai
perangkat untuk membentuk keshalihan pribadi dan sekaligus untuk membentuk
keshalihan sosial, demi terciptanya masyarakat yang bermoral. Memang,
keshalihan spiritual pribadi saja tidak cukup untuk menciptakan masyarakat yang
aman, nyaman, tenteram, adil menyenangkan. Kashalihan pribadi harus
ditransformasikan dalam kehidupan bermasyarakat dalam bentuk ibadah-ibdah
sosial. Sayangnya kelompok ini hanya sedikit di lingkungan kita, sehingga
kerusakan moral dan kerusakan lingkungan masih berkembang dan bertambah seiring
dengan perjalanan waktu.
Transformasi ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat bisa dikatakan
sebagai proses refleksi memahami wahyu paling dalam, the depth hermeneutics, yang harus berjalan secara dialogis
untuk menghasilkan aksi. Tujuan akhir dari transfomasi ajaran agama ini adalah
praksis-sosial ekonomi, sebuah perubahan nyata yang secara sosial ekonomi
terjadi pada masyarakat sehari-hari. Masalah kaum mustadh’afin,
soal minoritas, seharusnya dilihat sebagai bagian dari suatu konsep praktis.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kerusakan yang masih terus berlangsung di
sekitar kita bukanlah “kegagalan” agama dalam membangun masyarakat yang
bermoral. Namun yang terjadi adalah kegagalan dalam memahami agama dan
mentransformasikannya dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Agama hanya
dipahami sebagai aturan-aturan legal formal yang menyediakan pahala dan dosa,
ganjaran dan hukuman, surga dan neraka, yang kesemuanya bersifat abstrak.
Selain mengandung aturan legal formal, agama mempunyai perangkat ideal moral
yang pada dasarnya menjadi inti ajaran agama. Untuk menciptakan masyarakat yang
bermoral kedua komponen ini harus diimplementasikan dalam kehidupan individu
dan bermasyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, agama memegang peranan
yang besar dan sangat penting. Keberadaan agama di tengah-tengah masyarakat
tidak dapat diabaikan. Agama mengatur tentang bagaimana membentuk masyarakat
yang madani. Agama juga yang mampu menciptakan kerukunan dalam kultur
masyarakat yang majemuk. Seperti yang kita semua ketahui bahwa tidaklah mudah
untuk hidup dalam perbedaan. Setiap perbedaan, utamanya perbedaan pendapat yang
ada di masyarakat dapat memicu timbulnya perselisihan. Di sinilah posisi agama
memainkan perannya yang penting sebagai penegak hukum dan menjaga agar
masyarakat saling menghormati dan tunduk pada hukum yang berlaku.
Jika dalam masyarakat agama sudah tidak dianggap
memegang peran yang penting, dapat dipastikan kehidupan sosial masyarakat
tersebut akan mengalami dekadensi moral dan kekacauan yang nantinya bakal
meluas ke lingkup yang lebih luas, yakni bangsa dan negara. Dan ini merupakan
ciri dari akan hancurnya dunia! Yah, kiamat sudah dekat jika agama telah hilang
dari sendi-sendi kehidupan.
Agama memainkan perannya yang sentral dalam hal
kultur maupun kehidupan sosial kemasyarakatannya melalui nilai-nilai luhur yang
diajarkannya. Diantara sekian banyak nilai-nilai yang terdapat dalam agama
tersebut, nilai luhur yang paling banyak dan paling relevan dengan sosial
kemasyarakatan adalah nilai spiritual yang tetap menjaga agar masyarakat tetap
konsisten dalam menjaga stabilitas lingkungan, serta nilai kemanusiaan yang
mengajarkan manusia agar dapat saling mengerti satu sama lain, serta dapat saling
bertenggang rasa. Saling memahami antar masyarakat merupakan langkah awal yang
bagus untuk membentuk masyarakat yang madani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar