Segala puji hanya milik Allah, Hakim
yang seadil-adilnya yang telah menurunkan Al-Kitab dan Neraca [keadilan] supaya
manusia dapat melaksakan keadilan, dan Dia telah menjadikan keadilan yang
dengannya langit dan bumi berdiri, terkhusus ada pada syari’at-Nya, dan selain
syari’at-Nya adalah aniaya, kedzaliman dan kesesatan sebagaimana
firman-Nya subhanahu wa ta’ala :
“Maka (Zat yang demikian) Itulah
Allah Tuhan kamu yang Sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu,
melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?”. [QS.Yunus:
32]
Shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada penutup para Nabi dan Rasul yang bersabda dalam hadist
shahih : “dua qadhi [hakim] di neraka dan satu qadhi di surga”.
Adapun qadhi yang di surga maka ia adalah yang mengetahui al-haq [kebenaran]
dan dia memutuskan dengannya, sedangkan al-haq itu tidak ada kecuali dalam
ajaran Allah Ta’ala.
Ini adalah lembaran-lembaran yang
saya ingin menulisnya dalam rangka menjelaskan al-haq dan dalam rangka
pelepasan langsung tanggung jawab di hadapan Allah serta peringatan bagi orang
yang melampaui batasan-batasan-Nya. Kami berikan kepada hakim, mahkamah
keamanan negara [hafidh amin] dan para pembantunya, dan kepada setiap hakim
dimana saja yang memutuskan dalam bingkai-bingkai undang-undang buatan yang
menentang ajaran Allah Ta’ala ini. Maksud kami di dalamnya
bukanlah membela diri kami, karena Allah cukuplah bagi kami, Dia-lah pelindung
kami, Dia-lah sebaik-baik pelindung, penolong dan penjaga, Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah membela
orang-orang yang Telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap
orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” [QS.
Al-Hajj: 38]
Dan maksud kami juga bukanlah
membela syari’at Allah dan agama-Nya, karena kalimat Allah itulah yang tinggi
selamanya, sedangkan al-haq adalah ada di atas dan tidak ada yang lebih tinggi
darinya, dan Rasulullah ShalAllahu ‘alaihi wasallam juga telah
meninggalkan kita di atas jalan yang terang, malamnya bagaikan siang hari,
tidak ada yang menyimpang darinya kecuali orang yang binasa. Akan tetapi maksud
kami dari hal itu adalah sebagaimana apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
“Dan (Ingatlah) ketika suatu umat di
antara mereka berkata: "Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan
membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?"
mereka menjawab: "Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab)
kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.” [QS.
Al-‘Araf: 164]
Ketahuilah wahai para hakim… bahwa
hal itu yang paling pertama, paling penting, serta paling agung yang Allah
fardhukan atas semua hamba untuk mempelajarinya dan mengamalkannya sebelum
shalat, shaum, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya adalah Tauhid, yaitu
beribadah kepada Allah Ta’ala saja.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” [QS.Adz-Dzariyyat:
56]
Para Ahli Tafsir berkata : “Yaitu
supaya mereka beribadah kepada-Ku saja, atau supaya mereka men-Tauhidkan –Ku
dengan ibadah”. Dan inilah makna Tauhid Laa ilaaha illallooh,
dan inilah tujuan terbesar dan sasaran tertinggi serta Al-‘Urwah
al-wutsqa’ [ikatan yang paling kokoh] yang karenanya Allah mengutus
semu Rasul-Rasul-Nya, dan menurunkan karenanya kitab-kitab-Nya, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan kami tidak mengutus seorang
Rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak
ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan
aku.” [QS.Al-Anbiyaa’: 25]
Dan Allah ‘Azza wa Jalla telah
menjelaskan serta menerangkan kalimat ini dengan firmannya:
“Dan sungguhnya kami Telah mengutus
Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan
jauhilah Thaghut itu,” [QS.An-Nahl: 36]
Dan tauhid inilah sebab sebenarnya
dan sebab inti dalam permusuhan antara para Rasul dengan kaum-kaumnya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Sesungguhnya kami Telah
mengutus kepada (kaum) Tsamud saudara mereka Shaleh (yang berseru):
"Sembahlah Allah". tetapi tiba-tiba mereka (jadi) dua golongan yang
bermusuhan.” [QS.An-Naml: 45]
Firman-Nya : “sembahlah
Allah” yaitu: Tauhidkan Allah dalam ibadah dan janganlah kalian
menyembah yang lain bersama-Nya. Itu di karenakan kaum-kaum para Rasul itu
seperti manusia yang lain, mereka beribadah kepada Allah akan tetapi mereka
mengibadati tuhan yang lain bersama-Nya. Jadi dakwah para Rasul itu bukanlah
dalam rangka mendakwahi manusia beribadah kepada Allah, shalat kepada-Nya,
shaum dan hal-hal lain yang serupa itu saja, karena mayoritas manusia itu
adalah mengibadati Allah dengan ibadah-ibadah tersebut, akan tetapi dakwah para
Rasul itu adalah dalam rangka peribadatan kepada Allah saja dan berlepas diri
dari segala sesuatu yang di ibadati selain-Nya… “sembahlah Allah dan
Jauhilah thaghut”.
Dan karena hal itu terjadilah
pertikaian dan di atasnya di siksalah para Rasul dan para pengikutnya, mereka
di sakiti dan mereka di penjarakan. Allah Ta’ala berfirman
seraya mengabarkan tentang fir’aun:
“Fir'aun berkata: "Sungguh jika
kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar Aku akan menjadikan kamu salah seorang
yang dipenjarakan.” [QS. Asy-Syu’ara : 29]
Dan dengan sebabnya terpecahlah
manusia menjadi dua kelompok, satu kelompok di surga dan satu kelompok lainnya
didalam neraka yang menyala, karena ia-lah buhul tali yang amat kokoh yang
dengannya Allah Ta’ala menjamin tidak akan terputus dan di
atasnya dasarnya Allah menjadikan tolak ukur keselamatan, dimana Dia berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat
yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah
pelindung orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya
kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.” [QS. Al-Baqarah : 256-257]
Firman-Nya: “barang siapa
yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah” adalah Tauhid
yang di kandung oleh Laa ilaaha illallah.
Thaghut adalah segala sesuatu yang
di ibadati selain Allah dengan bentuk peribadatan apa saja sedang dia ridho
dengan peribadahannya itu. Bentuk-bentuk thaghut ini bisa beraneka ragam di
setiap zaman dan tempat, kadang thaghut itu berupa patung atau berhala yang
mana manusia shalat dan sujud kepadanya atau mereka menyembelih dan bernadzar untuknya,
dan kadang thaghut itu berbentuk hukum selain Allah yang mana manusia merujuk
kepadanya atau berbentuk pembuat hukum selain Allah, baik dia itu penguasa atau
wakil rakyat atau dukun yang menetapkan bagi manusia aturan
[hukum/undang-undang], perintah dan larangan yang tidak Allah izinkan. Dan
begitulah bentuk-bentuk thaghut itu bisa beraneka ragam di setiap zaman dan
tempat, namun tetaplah yang dituntut oleh semua Rasul itu adalah satu: “Ibadahlah
kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut”.
Dan karena itu wajib atas setiap
orang yang menginginkan surga dan keselamatan dari api neraka untuk mempelajari
makna kalimat yang agung ini dan al-‘urwah al-wutsqa’ itu
supaya mengamalkannya. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya
tidak ada Tuhan yang haq selain Allah…” [QS.
Muhammad : 19]
Bila dia mempelajarinya, maka ia
mengetahui untuk tujuan apa dia di ciptakan, dan untuk apa para Rasul di utus,
serta untuk apa kitab-kitab di turunkan ?! dan tentu ia mengetahui jalan yang menghantarkan
ke surga serta jalan lain yang menjerumuskan ke neraka.
Dan darinya jelaslah bagi kalian hai
para hakim hakikat permusuhan antara kami dengan pemerintah kalian yang
menggugurkan syari’at Allah, dan kenapa kami membencinya dan mengkafirkan serta
memusuhi wali-walinya [aparat pendukungnya], dan kenapa mereka memerangi kami
serta memenjarakan kami serta setiap orang yang menyerukan Tauhid.
Jadi, Laa Ilaaha Illallah itu
adalah Nafyun [peniadaan] dan Itsbat [penetapan],
dan untuk berpegang pada al-‘urwah al-wutsqa’ yang terhadapnya
Allah mengaitkan roda keselamatan ini seseorang harus mengumpukan di dalamnya
antara dua rukun tersebut, yaitu nafyun dan itsbat. Penafian saja tidaklah
cukup tanpa diserta itsbat, dan begitu juga itsbat tidak cukup tanpa di barengi
penafian, akan tetapi mesti mengumpulkan antara dua hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar