Laa Illaaha adalah rukun
penafian dalam kalimat yang agung ini dan itu telah di jelaskan oleh
Allah Ta’ala dalam definisi al-‘urwah al-wutsqa’ dengan
firman-Nya : “barangsiapa ingkar kepada thaghut” [QS.
Al-Baqarah : 256], dan dalam dakwah para Rasul dengan firman-Nya: “jauhilah
thaghut” [QS. An-Nahl : 36]. Dan sebab Allah mendahulukan
penafian ini terhadap itsbat adalah karena sangat penting dan urgennya
penafian, sehingga itsbat [ibadah kepada Allah] tidaklah sah tanpa penafian ini
[keberlepasan dari segala sesuatu yang di ibadati selain Allah], yaitu tidak
sah dan tidak diterima serta tidak bermanfaat Iman kepada Allah, shalat, shaum,
zakat dan haji tanpa kafir kepada thaghut, atau dengan makna lain: ibadah
kepada Allah tidak akan bermanfaat bila disertai dengan peribadatan kepada
selain-Nya, akan tetapi harus beribadah kepada Allah saja dan berlepas diri
dari peribadatan kepada selain-Nya.
Dan Illallah adalah
rukun itsbat [penetapan], sedangkan ia itu mengandung
peribadatan kepada Allah saja, dan Allah ta’ala telah
menjelaskan dalam definisi al-‘urwah al-wutsqo’ dengan
firman-Nya: “dan beriman kepada Allah” . [QS.
Al-Baqarah : 256] dan dalam dakwah para Rasul semuanya dengan firman-Nya “sembahlah
Allah saja” . [QS. An-Nahl : 36].
Mungkin saja kalian hai para hakim
berkata : “siapa yang mengikari hal ini dan siapa yang menentangnya??”, maka
kami akan menjawabnya dengan mengatakan : “Kalian dan pemerintah kalian…
Sesungguhnya kami mengajak manusia kepada Tauhid yang agung ini, sedang kalian
malah mengajak mereka kepada yang membatalkan tauhid ini berupa kemusyrikan
yang nyata lagi jelas”.
Mungkin kalian juga mengatakan :
“bagaimana itu ? dan apakah kami shalat kepada selain Allah? Atau menyeru
selain Allah? Atau shaum kepada selain Allah, atau meyembelih dan nadzar kepada
selain Allah? Atau kami memerintahkan manusia kepada hal seperti itu??”.
Maka kami akan menjawab kalian :
“Tidak ! akan tetapi orang yang beribadah kepada selain Allah diantara kalian,
maka dia itu shalat kepada Allah, shaum kepada Allah, dan menyeru Allah,
menyembelih qurban karena Allah dan nadzar untuk Allah, akan tetapi dia dalam
bidang-bidang hukum dan aturan mengambil hukum tersebut dari selain Allah,
sehingga dia itu menyekutukan bersama Allah tuhan-tuhan pengatur dan
tuhan-tuhan lain yang di ibadati, bukan dalam shalat dan shaum serta yang
lainnya, akan tetapi dalam penyandaran hukum. Sedangkan sudah diketahui dari
agama kaum muslimin bahwa pengambilan dan penerimaan hukum
[aturan/undang-undang] dari selain Allah adalah ibadah seperti sujud, rukuk dan
shalat kepada selain Allah, sedangkan dalil-dalil terhadap hal itu dari
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya ShallAllahu ‘alaihi wasallam adalah
:
1. Ada
dalam Hadits yang shahih dengan penggabungan riwayat-riwayatnya yang telah di
riwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan ahli Tafsir, dari ‘Adiy Ibnu
Hatim RadiyAllahu ‘anhu –sedang dia itu nashrani kemudian
masuk Islam- bahwa ia datang kepada Nabi shallAllahu ‘alahi wasalam, terus
mendengar Beliau membaca firman Allah –Surat At-Taubah : 31-, maka Adiy berkata
: “wahai Rasulullah, orang nashrani tidak pernah beribadah kepada
mereka”, maka Rasululloh shallAllahu ‘alahi wasalam bersabda
: “bukankah mereka menghalalkan yang haram bagi mereka dan mengharamkan
yang halal atas mereka –yaitu melaksanakan kekuasaan pembuatan hukum
dan perundang-undangan- lalu orang-orang itu mengikuti mereka?”, lalu
ia berkata : “Ya”, Rasulullah shallAllahu ‘alahi wasallam bersabda
: “maka itulah peribadatan mereka terhadap para ‘ulama dan para rahib
itu”.
Dalam Hadits ini terdapat penjelasan
bahwa ketaatan orang-orang nashrani terhadap ‘alim ‘ulama dan para rahib mereka
dalam pembuatan hukum adalah bentuk peribadatan kepada selain Allah dan syirik
akbar yang mengeluarkan dari agama Islam. Oleh sebab itu Imam Muhammad
At-Tamimi Rahimahullah membuat bab dalam kitabnya At-Tauhid
Alladzi Huwa Haqqullahi ‘Alal ‘Abid untuk ayat ini dengan ucapannya
: “bahwa barang siapa mentaati para ‘ulama dan para pemimpin dalam
pengharaman apa yang telah Allah halalkan dan penghalalan apa yang Allah
telah haramkan, maka dia telah menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain
Allah”.
2. Diantara
dalil yang jelas terhadap hal itu juga adalah apa yang di riwayatkan oleh
Al-Hakim dan yang lainnya dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas tentang
sebab turunnya firman Allah :“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang
yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan
yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan
kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti
mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. [QS.
Al-An’am : 121], bahwa sejumlah orang dari kaum musyrikin membantah kaum
muslimin karena sebab kaum muslimin tidak memakan bangkai , mereka berkata
: “seekor kambing mati di pagi hari siapa yang membunuhnya ?” ,
maka kaum muslimin menjawabnya : “Allah”. Kaum musyrikin berkata
lagi : “apa yang Allah bunuh atau apa yang di sembelih oleh Allah
dengan pisau dari emas adalah haram –mereka maksudkan bangkai-
sedangkan hewan yang kalian sembelih dengan pisau dari besi adalah halal ??!”.
Maka AllahTa’ala menurunkan surat Al-An’am: 121.
Ini adalah hukum vonis yang tegas
lagi jelas dari Sang Penguasa langit dan bumi, bahwa orang yang mengikuti
undang-undang buatan walaupun dalam satu kasus atau dalam satu masalah maka dia
itu musyrik terhadap Allah Ta’ala lagi telah menjadikan tuhan
pengatur selain Allah, walaupun dia tidak shalat atau sujud atau ruku’
terhadapnya, dan bahwa ketaatan dalam hukum adalah ibadah yang wajib
mentauhidkannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan barangsiapa
memalingkannya kepada selain Allah Ta’ala maka ia telah
beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Bila kalian telah mengetahui hal ini
dan telah nampak di hadapan kalian diantara kekafiran yang nyata dan
kemusyrikan yang jelas lagi terang adalah menjadikan selain Allah sebagai
pembuat hukum, sama saja baik si pembuat hukum ini ‘ulama atau penguasa atau
wakil rakyat, atau kepala suku [adat], dan kalian mengetahui bahwa hukum
Allah ta’ala telah menetapkan syirik dalam kitab-Nya, dimana
Dia berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain
syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
(sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [QS.
An-Nisa’: 116].
Kemudian kalian mengetahui bahwa
ayat 25 dari undang-undang dasar kalian (Yordania, -ed) menjelaskan bahwa :
“kekuasaan pembuatan hukum berada pada raja dan para anggota majelis umat”, dan
pasal 24 menegaskan bahwa : “Rakyat menjalankan kekuasaannya sesuai dengan cara
yang di atur dalam undang-undang dasar”.
Maka kalian mengetahui, bahwa setiap
orang yang menerima Dien yang baru dan kekafiran yang nyata lagi menentang
agama Allah ta’ala dan tauhid-Nya ini adalah telah menjadikan
si pembuat hukum itu sebagai Arbaab [tuhan-tuhan] selain Allah Ta’ala yang
dia sekutukan mereka itu bersama Allah dalam ibadahnya. Allah Ta’ala berfirman
:
“Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak
diizinkan Allah ?” [QS. Asy-Syura : 21]
Dan Firman-Nya ta’ala:
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin ?” [QS.Al-Maa’idah: 50]
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata
dalam penafsiran ayat ini : “Allah ta’ala mengingkari orang yang keluar dari
hukum Allah yang muhkam [paten] yang meliputi segala kebaikan lagi melarang
dari segala keburukan, dan dia malah berpaling kepada selain-Nya [yaitu]
berupa; pendapat-pendapat dan hawa nafsu serta hukum-hukum yang dibuat oleh
manusia tanpa sandaran dari syari’at Allah, sebagaimana orang-orang jahiliyah
dahulu memutuskan dengan kesesatan-kesesatan dan kebodohan-kebodohan [yaitu
hukum] yang mereka letakkan dengan fikiran dan hawa nafsu mereka, dan
sebagaimana tattar memutuskan dengan politik-polotik kerajaan yang diambil dari
raja mereka jenggis khan yang membuatkan ilyasiq bagi mereka. Dan Ilyasiq itu
adalah kitab hukum yang berisi kumpulan-kumpulan hukum yang dia kutip dari
berbagai ajaran, yaitu yahudi, nashrani, agama Islam dan yang lainnya, serta di
dalamnya terdapat banyak hukum yang dia ambil dari pandangan dan pikirannya
semata, kemudian kitab itu ditengah anak keturunannya menjadi undang-undang
yang diikuti, yang mereka kedepankan melebihi Kitab Allah dan Rasul-Nya
shallAllahu ‘alahi wasallam, maka barangsiapa melakukan hal itu maka dia KAFIR,
yang wajib diperangi sampai dia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya,
sehingga selain hukum-Nya tidak boleh di jadikan acuan dalam hal sedikit maupun
banyak”.
Dan dari uraian yang telah lalu, engkau
mengetahui hakekat perseteruan dan permusuhan antara kami dengan pemerintah
ini, dan engkau mengetahui inti pertentangan antara ahli Tauhid dengan anshar
dan aparat-aparat pemerintah tersebut. Jadi, pertikaian itu bukan untuk
memperebutkan kursi atau jabatan atau tanah atau harta atau kedudukan
sebagaimana yang diduga oleh banyak orang, dimana kamu melihat bahwa para
pengikut Tauhid yang murni ini adalah tergolong orang yang paling jauh dari
jabatan-jabatan di pemerintah ini, bahkan sesuatu yang paling dahulu mereka
dakwahkan terhadap kamu –bila mereka itu tulus dan bila kamu tergolong para
pemegang jabatan-jabatan yang loyal lagi membela-bela kemusyrikan dan
undang-undang serta para penganutnya, baik kamu ini hakim atau penguasa atau
intelejen atau aparat militer- adalah lari kepada Allah dengan meninggalkan
jabatan-jabatan itu dan menjauhinya supaya bisa selamat dari kemusyrikan ini
dan para penghusungnya, sehingga firman Allah ta’ala: “beribadahlah
kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu” . [QS. An-Nahl:
36] adalah jalan hidup mereka.
Dan begitu juga permusuhan tersebut
bukanlah terhadap pengingkaran hal-hal furu’ [cabang-cabang] atau pembenahan
hal-hal yang sifatnya parsial dalam realita yang rusak ini, seperti merusak
bar, atau diskotik atau tempat-tempat maksiat lainnya. Dan barangsiapa mengira
bahwa itu adalah inti, akar dan hakikat permusuhan antara kami dengan mereka,
maka sesungguhnya orang itu tidak memahami hakikat dakwah para Rasul dan tidak
mengetahui sebab perseteruan yang sebenarnya antara mereka dengan kaum-kaumnya,
sehingga orang yang menyibukan diri dengan hal-hal itu adalah seperti orang
yang menyibuki mengobati luka-luka di badan yang terjangkit kanker yang akut
lagi mematikan.
Perseteruan itu hai kaum… adalah
lebih dasyhat dan jauh lebih besar dari hal itu, sesungguhnya perseteruan itu
adalah dalam hal Tauhid dan Syirik, dalam hal kekafiran dan Iman, sesungguhnya
ia adalah kekekalan di dalam surga atau dalam api neraka.