Indonesia adalah bangsa yang besar, kalau mengacu pada jumlah
penduduk merupakan bangsa terbesar keempat di dunia. Termasuk peringkat atas,
mengingat yang mendiami Planet Bumi ini lebih dari 200-an bangsa (berdasarkan
jumlah Negara yang ada).
Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia
telah melebihi 237 juta jiwa, atau sedang bergerak mendekati angkat seperempat
milyar jiwa. Bangsa yang besar dengan kekayaan yang berlimpah ruah berupa
sumberdaya alam di perut bumi, di permukaan bumi, di permukaan lautan dan di
dalam lautan.
Namun sangat disayangkan, kelimpahan sumberdaya alam itu
tidak mampu dikelola dengan baik, sehingga tingkat pengangguran dan kemiskinan
masih saja tinggi. Idealnya kalau kekayaan sumberdaya alam berlimpah tidak ada
rakyat yang kelaparan, tidak ada yang mencar-cari pekerjaan, tidak ada rakyat
sakit yang mengalami pembiaran, dan tidak ada anak putus sekolah karena
ketiadaan biaya.
Sejatinya kekayaan sumberdaya alam itu bisa dikelola untuk
kesejahteraan rakyat, sebagaimana bunyi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 hasil
amandemen, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Sementara pada ayat 2 disebutkan, cabang-cabang produksi yang
penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
Negara.
Namun apa yang terjadi, seolah bunyi beberapa ayat mengenai
perekonomian nasional dan kesejahteraan social itu mengalami “pengabaian” oleh
pemerintah yang berkuasa.
Berdasarkan laporan Harian Kompas, 23 Mei 2011, ternyata
dominasi pihak asing saat ini semakin meluas, bahkan menyebar pada sektror
strategis perekonomian.
Data tahun 2011 menunjukkan, untuk sektor pertambangan
kepemilikan asing sudah mencapai 75 persen, sementara nasional 25 persen; Pada
sektor perbankan kepemilikan asing sudah mencapai 47,02 persen dari total aset
Rp. 3.065 triliun;
Untuk industri telekomunikasi penguasaan asing pada berbagai
perusahaan papan atas sudah
berkisar antara 24 – 95 persen; Sementara untuk sektor perkebunan, khususnya
industri kelapa sawit penguasaan beberapa perusahaan asal Malaysia, Singapura,
Amerika Serikat dan Belgia sudah begitu dominan.
Aturan pemerintah saat ini tampak begitu liberal. Luar biasa,
sebuah perusahaan asal Singapura menguasai 85 ribu hektar perkebunan sawit yang
ada di Indonesia. Padahal luas Negara Singapura sendiri kurang dari 70 ribu hektar. Sementara tiga buah perusahaan asal
Malaysia telah menguasai lebih dari 226 ribu hektar (2.260 kilometer persegi)
perkebunan sawit di Indonesia, atau melebihi luas Negara bagian Melaka (1.650
kilometer persegi) dan Perlis (810 kilometer persegi). Untuk wilayah Provinsi
Kalimantan Barat ternyata sekitar 70 persen dari luas perkebunan sawitnya telah
berada dalam genggaman Malaysia.
Selain itu pemerintah memberikan peluang bagi pihak asing
untuk memiliki hingga 99 persen saham perbankan dan 80 persen saham asuransi.
Bahkan dari keseluruhan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah
diprivatisasi, sekitar 60 persen sahamnya sudah dikuasai pihak asing. Sementara
di pasar modal, sekitar 60 – 70 persen total saham perusahaan yang sudah
diperdagangkan, juga sudah dimiliki investor asing.
Dalam hal ini pemerintah seolah terus mengobral beragam aset
Negara, untuk sektor migas lebih mengagetkan lagi, ternyata porsi operator
minyak dan gas nasional tinggal 25 persen, sekitar 75 persen sudah didominasi
pihak asing. Maka tak heran jika muncul kritikan terhadap fenomena di mana
ekspor gas terus menggelontor, sementara di sisi lain PLN begitu memerlukan gas
untuk menekan harga dan meningkatkan efisiensi. Bahkan belakangan muncul
berita, bahwa PLN dipastikan akan mengimpor gas dari Kuwait dan Iran. Hal itu
disebabkan pasokan gas dari PGN tidak dapat memenuhi kebutuhan gas PLN yang
mencapai 400 mmscfd. Hal itu terungkap saat rapat dengar pendapat antara PLN
dengan Komisi VII DPR, di Gedung DPR RI, Rabu, 18 Mei 2011 yang lalu.
Lantas, mau di bawa ke mana masa depan bangsa dan Negara ini,
jika elemen-elemen tertentu dari pemerintah lebih doyan hal-hal yang berbau asing. Contoh
kasus beriku tentang pesawat
MA-60 buatan Xi’an Aircraft Company Ltd yang
dioperasikan PT Merpati Nusantara Airlines, yang
jatuh di perairan Kaimana, Papua Barat, akhir pekan lalu. Ternyata kualitasnya
masih di bawah CN 235 yang diproduksi IPTN. Ya, itulah fenomena “kurang percaya
diri”, seolah apapun yang berbau asing begitu dipercaya.
Kekuatan asing sudah begitu mencengkeram perekonomian di
Indonesia. Dalam hal ini nyaris semua sektor telah digerakan bahkan didominasi
teknologi dan investasi asing. Untuk industri otomotif, elektronik dan
teknologi informasi misalnya, bendera perusahaan asing berkibar di seluruh
penjuru negeri. Ya, baik industri manufaktur, industri unggulan berbasis
teknologi tinggi, industri agro, bahkan industri kecil dan menengah sudah
begitu dalam “dirasuki” produksi, investasi dan teknologi asing.
Dalam hal ini sebenarnya Bangsa Indonesia tidak bersifat anti
asing, bagaimanapun peran asing dalam perekonomian Indonesia tetap penting.
Namun perlakuan pemerintah harus proporsional, jangan biarkan dominasi asing
terus merambah seluruh sector, semua potensi dan segenap wilayah.
Sebenarnya cukup memperlakukan asing sebagai mitra usaha dan
stimulator. Bagaimanapun beberapa Negara tertentu memiliki keunggulan
teknologi, manajemen dan bisnis dibidang usaha tertentu.
Cukup layak jika diberi kesempatan untuk mengembangkan
sayapnya di Indonesia, namun tetap dalam batas-batas kewajaran. Apalagi untuk
sektor-sektor tertentu, sebagaimana amanat dari UUD 1945 bahwa Negara harus menguasanya.
Maksudnya supaya kepentingan dan kesejahteraan rakyat benar-benar ada
jaminannya.
Contoh kasus di daerah yang sangat kaya dengan potensi energi
dan sumberdaya mineral, di mana rakyat hanya menjadi “pelengkap penderita”,
sementara harta kekayaan kampung halamannya terus dikeruk dan hanya menjadikan
kemewahan berlebih bagi segelintir orang.
Pemilu 2014 bisa dijadikan momentum untuk terbentuknya
pemerintahan yang kuat, bersih, amanah dan berani. Dalam hal ini kuat dalam
memperjuangan kepentingan segenap rakyat di seluruh pelosok negeri; Bersih
dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga energinya lebih terfokus pada
upaya menegakan kemandirian bangsa; Amanah dalam mengemban kepercayaan rakyat
untuk meraih kemakmurannya bermodalkan sumberdaya manusia, alam dan teknologi;
serta Berani dalam menegakkan cita-cita dan martabat bangsa.
Bagaimanapun, bangsa Indonesia merupakan bangsa terbesar
keempat di dunia, sangat membutuhkan pemimpin rakyat yang benar-benar
meng-Indonesia, senantiasa memikirkan, berbicara dan bertindak secara
Indonesia. Era pemimpin bangsa yang tidak berbicara Indonesia di negerinya
sendiri sudah usai. Bahkan segenap rakyat merindukan pemimpin yang berbicara
Indonesia di forum dunia. Lantas, apakah belum puas lebih dari tiga setengah abad
ditambah tiga setengah tahun “dicengkeram” bangsa asing ? Tak perlu nostalgia
derita itu dikembalikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar