Sabtu, 29 Desember 2012

Sistem Birokrasi Indonesia Yang Setengah Hati



Birokrasi merupakan wahana utama dalam penyelenggaraan negara. Di samping melakukan pengelolaan pelayanan publik, birokrasi juga bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik. Disamping itu birokrasi juga berfungsi melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional. Sehingga dapat dikatakan bahwa birokrasi merupakan faktor penentu keberhasilan keseluruhan agenda pemerintahan.
Negara ini menyadari bahwa pengelolaan pemerintahan tidak dapat berjalan dengan baik jika tidak dilaksanakan oleh sistem birokrasi yang baik. Buruknya sistem birokrasi ditandai dengan buruknya pelayanan publik, rendahnya produktifitas dan kinerja aparatur, serta masalah tingkat Korupsi (KKN) yang tinggi sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasan.
Masyarakat sangat mengeluhkan kondisi ini. Masyarakat yang seharusnya mendapat pelayanan yang baik dari aparat pemerintahan, tetapi tidak bisa mendapatkannya kecuali bagi mereka yang mempunyai uang untuk menyogok agar mendapat pelayanan tersebut.
Tidak hanya masyarakat. Tetapi para pimpinan pemerintahan juga sering mengeluhkan kondisi ini. Mulai dari pusat sampai pada pimpinan di daerah. Tidak jarang SBY mengeluhkan kondisi ini. Untuk itulah dari awal pemerintahannya SBY merasa perlu untuk terus melakukan reformasi birokrasi. Tetapi sampai saat ini kita tidak melihat ada kemajuan yang signifikan. Dan tidak jelas maksud dan tujuannya.
Untuk itulah diperlukan suatu proses reforrmasi birokrasi. Birokrasi diharapkan menjadi pelayan masyarakat, abdi negara dan teladan bagi masyarakat. Namun pada prakteknya, reformasi birokrasi yang bertujuan luhur tersebut belum sepenuhnya berhasil diterapkan dalam pemerintahan kita.
Walaupun usaha reformasi birokrasi telah dilakukan ternyata birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan menjadikan birokrasi semakin besar dan membesar. Mereka juga semakin mengendalikan dan mengontrol masyarakat dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.
Cap birokrasi Indonesia seperti itu ternyata bukan sampai di situ saja, tetapi melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam kategori birokrasi patrimonial dimana ciri-cirinya adalah tidak efesien, tidak efektif, tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif danrepresif.
Mulai dari mana?
Dari manakah dimulai reformasi birokrasi? Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sepertinya bingung dimulai dari mana proses reformasi birokrasi. Sehingga yang muncul hanya kebijakan atau wacana yang tidak mampu memberi arti proses reformasi birokrasi tersebut.
Selama ini anggapan yang berkembang bahwa buruknya kondisi birokrasi kita karena disebabkan oleh pendapatan PNS yang rendah. Sehingga reformasi birokrasi hanya berkutat pada masalah peningkatan pendapatan PNS melalui kenaikan gaji, pemberian tunjangan tambahan atau renumerasi. Tapi ternyata perlakuan ini tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap usaha reformasi birokrasi. Malahan semakin membebani anggaran pemerintah tetapi tidak menyelesaikan persoalan dasarnya.
Proses reformasi birokrasi paling tidak membutuhkan empat langkah fundamental yang menjadi syarat agar proses birokrasi dapat berjalan dengan baik. Langkah yang pertama adalah perubahan mindset. Keberadaan birokrasi adalah untuk melayani seluruh kepentingan rakyat bukan untuk dilayani. Birokrasi harus mampu mempermudah bukan mempersulit suatu urusan. Jadi mindset yang selama ini berkembang pada birokrat kita harus dirombak total. Mereka adalah sebagai public servant. Mereka harus memberi pelayan terbaik, mudah, dan cepat kepada rakyat sebagai pemilik sah republik ini.
Langkah yang kedua, adalah reformasi politik. Reformasi politik memang salah satu tujuan dari kemunculan orde reformasi. Tetapi reformasi politik yang terjadi tidak membawa pengaruh kepada reformasi birokrasi. Praktek pemerintahan dan birokrasi semakin diperparah oleh kondisi perpolitikan kita saat ini.
Dalam proses politik terjadi tarik menarik kepentingan antara elit-elit yang berkuasa dengan birokrasi. Sehingga birokrasi kita cenderung tidak lagi netral dan cenderung teromabang-ambing dalam pusaran perebuatn kekuasan. Untuk itu perlu dilakukan reformasi politik yang terarah yang membebaskan birokrasi dalam situasi dilematis. Bagaimanapun aparatur harus steril dari berbagai kepentingan elit-elit yang yang berkuasa maupun yang mencari kekuasaan.
Langkah yang ketiga, adalah reformasi hukum. Reformasi hukum ditujukan agar produk hukum berupa undang-undang dan peraturan yang dikeluarkan tidak tumpang tindih satu dengan yang lainnya serta mampu implementasikan dengan baik dan benar. Sehingga kita dapat memperoleh akuntabilitas dari aparatur yangmenjalankan birokrasi sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada bangsa dan rakyat.
Langkah yang keempat, adalah desentralisasi kewenangan. Selama ini para birokrat pada level menengah dan bawah sangat tergantung sekali pada top leveldalam birokrasi. Sehingga kondisi ini sangat menghambat kinerja birokrat tersebut. Setiap pekerjaan yang dilaksanakan harus menunggu petunjuk dan persetujuan atasan. Dan tak jarang birokrat yang berada top level mengintervensi pekerjaan bawahannya.
Dengan adanya desentralisasi kewenangan tersebut maka setiap tingkatan pada birokrasi mampu melaksanakan tugas sebaik mungkin sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Sehinggga mudah dilakukan pengawasan terhadap akuntabilitas dan profesionalisme dari kinerja para birokrat tersebut.
Jadi proses reformasi birokrasi di Indonesia harusnya dimulai dengan memperbaiki empat kondisi fundamental tersebut agar proses reformasi birokrasi dapat mencapai tujuannya. Sejalan dengan terpenuhinya persyaratan tersebut perlu dilakukan reformasi terhadap kelembagaan birokrasi.
Reformasi kelembagaan
Reformasi kelembagaan dimulai dengan menata kembali struktur dan kelembagaan mulai dari pemerintahan pusat sampai ke daerah. Struktur kelembagaan pemerintahan kita saat ini sudah begitu tambun. Suatu kondisi yang kontradiktifdengan proses reformasi birokrasi yang dicanangkan pemerintah. Kondisi ini mengakibatkan birokrasi kita mengalami “penyakit kronis” dan penuh dengan masalah. Terlalu besar tetapi tidak memberikan hasil yang positif. Untuk itu perlu diciptakan struktur yang lebih ramping tetapi kaya dengan fungsi.
Di dalam reformasi kelembagaan harus juga dilakukan perbaikan sistem manajemen kepegawaian yang meliputi sistem rekruitmen personal, sistem penggajian, sistem kepangkatan, dan lain sebagainya. Semuanya harus transparan dan akuntabel sehingga reformasi yang diharapkan dapat dicapai.
Reformasi setengah hati
Gerald Caiden (1991) menyatakan bahwa reformasi sistem administrasi tidak pernah mencapai inti permasalahan tetapi hanya formalitas semata. Reformasi tersebut tidak cukup luas dan mendalam. Bahkan cukup banyak negara yang tidak memberikan perhatian yang cukup memadai pada reformasi birokrasi.
Begitu juga dengan reformasi birokrasi yang dilaksanakan oleh pemerintahan SBY. Hanya setengah hati. Tak lebih hanya pencitraan bahwa mereka concernterhadap kebutuhan masyarakat terhadap perbaikan sistem birokrasi yang sehat dan kuat.
Padahal birokrasi yang sehat dan kuat, adalah “birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi negara, dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar