Sabtu, 29 Desember 2012

Desas Desus Ekonomi Kerakyatan




Ekonomi kerakyatan yang hanya menjadi sebatas buah bibir yang tidak terealisasi
Dalam analisis Ekonomi dan Ekonomi politik, apa yang disebut Ekonomi kerakyatan lebih dikenal dengan sebagai pro-poor groowth (kebijakan pertumbuhan ekonomi yang bepihak kepada masyarakat miskin.
Asal-usul kebijakan ekonomi ini berawal dari kegagalan pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan dan mengabaikan distribusi. Kebijakan ekonomi ini dapat dilacak pada 1970-an ketika Cheney dan mengenalkan konsep “pertumbuhan dengan Pemererataan” pada 1990-an bank dunia mengadopsi Model tersebut dan memberikan nama broad-based growht ( Pertumbuhan dengan basis yang luas). Dalam World development Report yang diterbitkan pada 1990 oleh Bank Dunia, istilah ini tidak pernah di defenisikan. Hinggga akhirnya pada 1990-an, istilah broad-based growth berubah menjadi pro-poor growth. Elemen penting yang saling terkait dalam pertumbuhan yang berpihak kepada rakyat miskin :pertumbuhan, kemiskinan, dan ketimpangan melalui pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak secara jelas.( Warjio)
Pro-poor growth sengaja di rancang untuk memberikan kesempatan lebih banyak bagi masyarakat miskin untuk terlibaat dan menikmati hasil pembangunan. Caranya dengan melibatka masyarakaat miskin dalam kegiatan ekonomi, agar mereka mendapatkan mamfaat dari kegiatan ekonomi . selain itu, kebijakan ini memerlukan dukungan yang kuat karena biasanya menyangkut sektor public yang menyedot dana besar seperti bidang pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, akses kredit atau modal, dan promosi UKM.
Realitas di Indonesia yang terjadi pada saat ini, apa yang dikatakan sektor publik atau menjadi kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi dengan istilah “jauh panggang dari api”. Rakyat tidak mendapat hak untuk kebutuhan akan hidupnya, sehingga banyak kesenjangan antara orang besar dan orang kecil atau orang kaya dengan orang miskin. Terbukti banyaknya orang yang tidak sekolah, bertambahnya orang miskin, dan angka pengangguran yang semakin tinggi. Pemerintah gagal mensejahterakan rakyatnya.
Kebijikan ekonomi akan berpihak kepada rakyat miskin jika pemerintah memberikan alokasi lebih banyak dalam bidang pendidikan dan juga secra khusus menyusun kebijakan pendidikan bagi masyarakat miskin, sehingga dapat di katakan pemerintah sudah mengadopsi kebijakan yang memihak kapada rakyat miskin. Kebijakan pendidikan ini akan lebih baik lagi jika didukung oleh kebijakan lainnya.
Kebijakan ekonomi yang memihak masyarakat miskin mesti dijalankan dengan seriusbukan sekedar wacana atau slogan politik. Bantuan yang sifatnya kerikatif tidak akan banyak membantu pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Negeri ini membutuhkan kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin yang komprehensif, karena dua alasan penting: menjaga pertumbuhan ekonomi jangka panjang dangan meningkatnya kualitas SDM, dan memperkecil ketimpangan. (Wahyu Prasetiawan, 2009).
Dalam bukunya yang berjudul politik Ekonomi kerakyatan (2004), Sarbini Sumawinata menjelaskan bahwa pemerintah dan elit politik semestinya mengayomi masyarakat. Namun kenyataannya, pemerintah sibuk dengan urusan masing-masing. Masalah datang terus-menerus tak kunjung selesai dan tidak mampu di tuntaskan mulai dari, Lumpur sidoarjo, BLBI, Bank Century, Mafia pajak, Bibit-Chandra masih banyak lagi masalah lain yang belum disebut.
Saya kira, dalam pendekatan politik tidak mudah untuk mengimplementasikan apa yang kita sebut ekonomi kerakyatan. Dalam politik, rakyat atau dalam bahasa demokratis disebut kerakyatan tidak mengenal keberpihakan pada satu kelompok tertentu. Sebab dalam terminologi politik rakyat atau kerakyatan memiliki hak dan kewajiban sama. Bahwa kaum pedagang ( kecil), nelayan, buruh, petani, harus diperjaungkan dan menikmati pembangunan adalah salah satu keharusan sebagaimana kelompok atau bagian masyarakat lainnya.
Pertanyaan, mampukah cita-cita luhur dan semangat yang terkandung dalam ekonomi kerakyatan diimplementasikan dalam kebijakan ekonomi di Indonesia khusus di kota Medan? Yang jelas, tidak hanya berlandaskan kemajuan politik saja, tetapi perlu di landasi komitmen yang kuat untuk mengedepankan kepentingan bangsa dan negara yang tetap berlandaskan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Rasanya tidak pada tempatnya kalau ekonomi kerakyatan hanya di jadikan sebagai “ mantel politik” untuk menarik simpati rakyat dengan jargon “populis” tanpa ada agenda ekonomi konkrit yang menyentuh sendi-sendi dasar ekonomi bangsa secara holistik.
Tidak mudah memang, apalagi cengkraman liberalisasi ekonomi semakin kuat mengekang pergerakn ekonomi nasional. Perundang-undangan kita pun nyatanya tidak lepas dari tuntutan sinkronisasi dengan perkembagangan ekonomi global yang mau tidak mau bersentuhan dengan pasar bebas dan liberalisasi ekonomi. Contohnya, undang-undang tentang penanaman modal/investasi, perbankan, ekspor impor, suku bunga dan masih banyak lagi perundadangan yang merujuk pada pergerakan ekonomi global.
Saya kira, apa yang kita sebut sebagai ekonomi kerakyatan jangan hanya sebagai slogan politik saja, yang digunakan untuk menarik dukungan dari masyarakat. Rakyat butuh pemimpin yang adil dan jujur serta sesuai kata dengan perbuatan, rakyat telah jenuh menghadapi gejolak hidup. Rakyat butuh kesejahteraan dan keadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar