Ekonomi kerakyatan yang hanya menjadi sebatas buah bibir yang tidak terealisasi
Dalam
analisis Ekonomi dan Ekonomi politik, apa yang disebut Ekonomi kerakyatan lebih
dikenal dengan sebagai pro-poor groowth (kebijakan pertumbuhan ekonomi yang
bepihak kepada masyarakat miskin.
Asal-usul
kebijakan ekonomi ini berawal dari kegagalan pendekatan yang mengutamakan
pertumbuhan dan mengabaikan distribusi. Kebijakan ekonomi ini dapat dilacak
pada 1970-an ketika Cheney dan mengenalkan
konsep “pertumbuhan dengan Pemererataan” pada 1990-an bank dunia mengadopsi
Model tersebut dan memberikan nama broad-based growht ( Pertumbuhan dengan basis yang luas).
Dalam World development Report yang diterbitkan pada 1990 oleh Bank Dunia, istilah ini
tidak pernah di defenisikan. Hinggga akhirnya pada 1990-an, istilah broad-based growth berubah menjadi pro-poor growth.
Elemen penting yang saling terkait dalam pertumbuhan yang berpihak kepada
rakyat miskin :pertumbuhan, kemiskinan, dan ketimpangan melalui pertumbuhan
ekonomi yang lebih berpihak secara jelas.( Warjio)
Pro-poor growth sengaja di rancang untuk memberikan kesempatan lebih banyak
bagi masyarakat miskin untuk terlibaat dan menikmati hasil pembangunan. Caranya
dengan melibatka masyarakaat miskin dalam kegiatan ekonomi, agar mereka
mendapatkan mamfaat dari kegiatan ekonomi . selain itu, kebijakan ini
memerlukan dukungan yang kuat karena biasanya menyangkut sektor public yang
menyedot dana besar seperti bidang pendidikan, kesehatan, keluarga berencana,
akses kredit atau modal, dan promosi UKM.
Realitas di Indonesia yang terjadi pada saat ini, apa yang
dikatakan sektor publik atau menjadi kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi
dengan istilah “jauh panggang dari api”. Rakyat tidak mendapat hak untuk
kebutuhan akan hidupnya, sehingga banyak kesenjangan antara orang besar dan
orang kecil atau orang kaya dengan orang miskin. Terbukti banyaknya orang yang
tidak sekolah, bertambahnya orang miskin, dan angka pengangguran yang semakin
tinggi. Pemerintah gagal mensejahterakan rakyatnya.
Kebijikan ekonomi akan berpihak
kepada rakyat miskin jika pemerintah memberikan alokasi lebih banyak dalam
bidang pendidikan dan juga secra khusus menyusun kebijakan pendidikan bagi
masyarakat miskin, sehingga dapat di katakan pemerintah sudah mengadopsi
kebijakan yang memihak kapada rakyat miskin. Kebijakan pendidikan ini akan
lebih baik lagi jika didukung oleh kebijakan lainnya.
Kebijakan ekonomi yang memihak
masyarakat miskin mesti dijalankan dengan seriusbukan sekedar wacana atau
slogan politik. Bantuan yang sifatnya kerikatif tidak akan banyak membantu pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang. Negeri ini membutuhkan kebijakan ekonomi yang berpihak kepada
masyarakat miskin yang komprehensif, karena dua alasan penting: menjaga
pertumbuhan ekonomi jangka panjang dangan meningkatnya kualitas SDM, dan
memperkecil ketimpangan. (Wahyu Prasetiawan, 2009).
Dalam bukunya yang berjudul
politik Ekonomi kerakyatan (2004), Sarbini Sumawinata menjelaskan bahwa
pemerintah dan elit politik semestinya mengayomi masyarakat. Namun
kenyataannya, pemerintah sibuk dengan urusan masing-masing. Masalah datang
terus-menerus tak kunjung selesai dan tidak mampu di tuntaskan mulai dari, Lumpur
sidoarjo, BLBI, Bank Century, Mafia pajak, Bibit-Chandra masih banyak lagi
masalah lain yang belum disebut.
Saya kira, dalam pendekatan
politik tidak mudah untuk mengimplementasikan apa yang kita sebut ekonomi
kerakyatan. Dalam politik, rakyat atau dalam bahasa demokratis disebut
kerakyatan tidak mengenal keberpihakan pada satu kelompok tertentu. Sebab dalam terminologi politik rakyat
atau kerakyatan memiliki hak dan kewajiban sama. Bahwa kaum pedagang ( kecil),
nelayan, buruh, petani, harus diperjaungkan dan menikmati pembangunan adalah
salah satu keharusan sebagaimana kelompok atau bagian masyarakat lainnya.
Pertanyaan, mampukah cita-cita
luhur dan semangat yang terkandung dalam ekonomi kerakyatan diimplementasikan
dalam kebijakan ekonomi di Indonesia khusus di kota Medan? Yang jelas, tidak
hanya berlandaskan kemajuan politik saja, tetapi perlu di landasi komitmen yang
kuat untuk mengedepankan kepentingan bangsa dan negara yang tetap berlandaskan
Pancasila sebagai ideologi bangsa. Rasanya tidak pada tempatnya kalau ekonomi
kerakyatan hanya di jadikan sebagai “ mantel
politik” untuk menarik simpati rakyat dengan jargon “populis” tanpa ada agenda
ekonomi konkrit yang menyentuh sendi-sendi dasar ekonomi bangsa secara
holistik.
Tidak mudah memang, apalagi
cengkraman liberalisasi ekonomi semakin kuat mengekang pergerakn ekonomi
nasional. Perundang-undangan kita pun nyatanya tidak lepas dari tuntutan
sinkronisasi dengan perkembagangan ekonomi global yang mau tidak mau
bersentuhan dengan pasar bebas dan liberalisasi ekonomi. Contohnya,
undang-undang tentang penanaman modal/investasi, perbankan, ekspor impor, suku
bunga dan masih banyak lagi perundadangan yang merujuk pada pergerakan ekonomi
global.
Saya kira, apa yang kita sebut
sebagai ekonomi kerakyatan jangan hanya sebagai
slogan politik saja, yang digunakan untuk menarik dukungan dari masyarakat.
Rakyat butuh pemimpin yang adil dan jujur serta sesuai kata dengan perbuatan,
rakyat telah jenuh menghadapi gejolak hidup. Rakyat butuh kesejahteraan dan
keadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar