Kamis, 02 Mei 2013

Tiada Tuhan selain Allah SWT


Laa Illaaha adalah rukun penafian dalam kalimat yang agung ini dan itu telah di jelaskan oleh Allah Ta’ala dalam definisi al-‘urwah al-wutsqa’ dengan firman-Nya : “barangsiapa ingkar kepada thaghut” [QS. Al-Baqarah : 256], dan dalam dakwah para Rasul dengan firman-Nya: “jauhilah thaghut” [QS. An-Nahl : 36]. Dan sebab Allah mendahulukan penafian ini terhadap itsbat adalah karena sangat penting dan urgennya penafian, sehingga itsbat [ibadah kepada Allah] tidaklah sah tanpa penafian ini [keberlepasan dari segala sesuatu yang di ibadati selain Allah], yaitu tidak sah dan tidak diterima serta tidak bermanfaat Iman kepada Allah, shalat, shaum, zakat dan haji tanpa kafir kepada thaghut, atau dengan makna lain: ibadah kepada Allah tidak akan bermanfaat bila disertai dengan peribadatan kepada selain-Nya, akan tetapi harus beribadah kepada Allah saja dan berlepas diri dari peribadatan kepada selain-Nya.

Dan Illallah adalah rukun itsbat [penetapan], sedangkan ia itu mengandung peribadatan kepada Allah saja, dan Allah ta’ala telah menjelaskan dalam definisi al-‘urwah al-wutsqo’  dengan firman-Nya: “dan beriman kepada Allah” . [QS. Al-Baqarah : 256] dan dalam dakwah para Rasul semuanya dengan firman-Nya “sembahlah Allah saja” . [QS. An-Nahl : 36].

Mungkin saja kalian hai para hakim berkata : “siapa yang mengikari hal ini dan siapa yang menentangnya??”, maka kami akan menjawabnya dengan mengatakan : “Kalian dan pemerintah kalian… Sesungguhnya kami mengajak manusia kepada Tauhid yang agung ini, sedang kalian malah mengajak mereka kepada yang membatalkan tauhid ini berupa kemusyrikan yang nyata lagi jelas”.

Mungkin kalian juga mengatakan : “bagaimana itu ? dan apakah kami shalat kepada selain Allah? Atau menyeru selain Allah? Atau shaum kepada selain Allah, atau meyembelih dan nadzar kepada selain Allah? Atau kami memerintahkan manusia kepada hal seperti itu??”.

Maka kami akan menjawab kalian : “Tidak ! akan tetapi orang yang beribadah kepada selain Allah diantara kalian, maka dia itu shalat kepada Allah, shaum kepada Allah, dan menyeru Allah, menyembelih qurban karena Allah dan nadzar untuk Allah, akan tetapi dia dalam bidang-bidang hukum dan aturan mengambil hukum tersebut dari selain Allah, sehingga dia itu menyekutukan bersama Allah tuhan-tuhan pengatur dan tuhan-tuhan lain yang di ibadati, bukan dalam shalat dan shaum serta yang lainnya, akan tetapi dalam penyandaran hukum. Sedangkan sudah diketahui dari agama kaum muslimin bahwa pengambilan dan penerimaan hukum [aturan/undang-undang] dari selain Allah adalah ibadah seperti sujud, rukuk dan shalat kepada selain Allah, sedangkan dalil-dalil terhadap hal itu dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya ShallAllahu ‘alaihi wasallam adalah :

1.    Ada dalam Hadits yang shahih dengan penggabungan riwayat-riwayatnya yang telah di riwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan ahli Tafsir, dari ‘Adiy Ibnu  Hatim RadiyAllahu ‘anhu –sedang dia itu nashrani kemudian masuk Islam- bahwa ia datang kepada Nabi shallAllahu ‘alahi wasalam, terus mendengar Beliau membaca firman Allah –Surat At-Taubah : 31-, maka Adiy berkata : “wahai Rasulullah, orang nashrani tidak pernah beribadah kepada mereka”, maka Rasululloh shallAllahu ‘alahi wasalam bersabda : “bukankah mereka menghalalkan yang haram bagi mereka dan mengharamkan yang halal atas mereka –yaitu melaksanakan kekuasaan pembuatan hukum dan perundang-undangan- lalu orang-orang itu mengikuti mereka?”,  lalu ia berkata : “Ya”, Rasulullah shallAllahu ‘alahi wasallam bersabda : “maka itulah peribadatan mereka terhadap para ‘ulama dan para rahib itu”.
Dalam Hadits ini terdapat penjelasan bahwa ketaatan orang-orang nashrani terhadap ‘alim ‘ulama dan para rahib mereka dalam pembuatan hukum adalah bentuk peribadatan kepada selain Allah dan syirik akbar yang mengeluarkan dari agama Islam. Oleh sebab itu Imam Muhammad At-Tamimi Rahimahullah membuat bab dalam kitabnya At-Tauhid Alladzi Huwa Haqqullahi ‘Alal ‘Abid untuk ayat ini dengan ucapannya : “bahwa barang siapa mentaati para ‘ulama dan para pemimpin dalam pengharaman apa yang telah Allah halalkan dan penghalalan  apa yang Allah telah haramkan, maka dia telah menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”.

2.    Diantara dalil yang jelas terhadap hal itu juga adalah apa yang di riwayatkan oleh Al-Hakim dan yang lainnya dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas tentang sebab turunnya firman Allah :“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. [QS. Al-An’am : 121], bahwa sejumlah orang dari kaum musyrikin membantah kaum muslimin karena sebab kaum muslimin tidak memakan bangkai , mereka berkata : “seekor kambing mati di pagi hari siapa yang membunuhnya ?” , maka kaum muslimin menjawabnya : “Allah”. Kaum musyrikin berkata lagi : “apa yang Allah bunuh atau apa yang di sembelih oleh Allah dengan pisau dari emas adalah haram –mereka maksudkan bangkai- sedangkan hewan yang kalian sembelih dengan pisau dari besi adalah halal ??!”. Maka AllahTa’ala menurunkan surat Al-An’am: 121.

Ini adalah hukum vonis yang tegas lagi jelas dari Sang Penguasa langit dan bumi, bahwa orang yang mengikuti undang-undang buatan walaupun dalam satu kasus atau dalam satu masalah maka dia itu musyrik terhadap Allah Ta’ala lagi telah menjadikan tuhan pengatur selain Allah, walaupun dia tidak shalat atau sujud atau ruku’ terhadapnya, dan bahwa ketaatan dalam hukum adalah ibadah yang wajib mentauhidkannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan barangsiapa memalingkannya kepada selain Allah Ta’ala maka ia telah beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.

Bila kalian telah mengetahui hal ini dan telah nampak di hadapan kalian diantara kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang jelas lagi terang adalah menjadikan selain Allah sebagai pembuat hukum, sama saja baik si pembuat hukum ini ‘ulama atau penguasa atau wakil rakyat, atau kepala suku [adat], dan kalian mengetahui bahwa hukum Allah ta’ala telah menetapkan syirik dalam kitab-Nya, dimana Dia berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [QS. An-Nisa’: 116].

Kemudian kalian mengetahui bahwa ayat 25 dari undang-undang dasar kalian (Yordania, -ed) menjelaskan bahwa : “kekuasaan pembuatan hukum berada pada raja dan para anggota majelis umat”, dan pasal 24 menegaskan bahwa : “Rakyat menjalankan kekuasaannya sesuai dengan cara yang di atur dalam undang-undang dasar”.

Maka kalian mengetahui, bahwa setiap orang yang menerima Dien yang baru dan kekafiran yang nyata lagi menentang agama Allah ta’ala dan tauhid-Nya ini adalah telah menjadikan si pembuat hukum itu sebagai Arbaab [tuhan-tuhan] selain Allah Ta’ala yang dia sekutukan mereka itu bersama Allah dalam ibadahnya. Allah Ta’ala berfirman :

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?” [QS. Asy-Syura : 21]

Dan Firman-Nya ta’ala:

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” [QS.Al-Maa’idah: 50]

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam penafsiran ayat ini : “Allah ta’ala mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam [paten] yang meliputi segala kebaikan lagi melarang dari segala keburukan, dan dia malah berpaling kepada selain-Nya [yaitu] berupa; pendapat-pendapat dan hawa nafsu serta hukum-hukum yang dibuat oleh manusia tanpa sandaran dari syari’at Allah, sebagaimana orang-orang jahiliyah dahulu memutuskan dengan kesesatan-kesesatan dan kebodohan-kebodohan [yaitu hukum] yang mereka letakkan dengan fikiran dan hawa nafsu mereka, dan sebagaimana tattar memutuskan dengan politik-polotik kerajaan yang diambil dari raja mereka jenggis khan yang membuatkan ilyasiq bagi mereka. Dan Ilyasiq itu adalah kitab hukum yang berisi kumpulan-kumpulan hukum yang dia kutip dari berbagai ajaran, yaitu yahudi, nashrani, agama Islam dan yang lainnya, serta di dalamnya terdapat banyak hukum yang dia ambil dari pandangan dan pikirannya semata, kemudian kitab itu ditengah anak keturunannya menjadi undang-undang yang diikuti, yang mereka kedepankan melebihi Kitab Allah dan Rasul-Nya shallAllahu ‘alahi wasallam, maka barangsiapa melakukan hal itu maka dia KAFIR, yang wajib diperangi sampai dia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, sehingga selain hukum-Nya tidak boleh di jadikan acuan dalam hal sedikit maupun banyak”.

Dan dari uraian yang telah lalu, engkau mengetahui hakekat perseteruan dan permusuhan antara kami dengan pemerintah ini, dan engkau mengetahui inti pertentangan antara ahli Tauhid dengan anshar dan aparat-aparat pemerintah tersebut. Jadi, pertikaian itu bukan untuk memperebutkan kursi atau jabatan atau tanah atau harta atau kedudukan sebagaimana yang diduga oleh banyak orang, dimana kamu melihat bahwa para pengikut Tauhid yang murni ini adalah tergolong orang yang paling jauh dari jabatan-jabatan di pemerintah ini, bahkan sesuatu yang paling dahulu mereka dakwahkan terhadap kamu –bila mereka itu tulus dan bila kamu tergolong para pemegang jabatan-jabatan yang loyal lagi membela-bela kemusyrikan dan undang-undang serta para penganutnya, baik kamu ini hakim atau penguasa atau intelejen atau aparat militer- adalah lari kepada Allah dengan meninggalkan jabatan-jabatan itu dan menjauhinya supaya bisa selamat dari kemusyrikan ini dan para penghusungnya, sehingga firman Allah ta’ala“beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu” . [QS. An-Nahl: 36] adalah jalan hidup mereka.

Dan begitu juga permusuhan tersebut bukanlah terhadap pengingkaran hal-hal furu’ [cabang-cabang] atau pembenahan hal-hal yang sifatnya parsial dalam realita yang rusak ini, seperti merusak bar, atau diskotik atau tempat-tempat maksiat lainnya. Dan barangsiapa mengira bahwa itu adalah inti, akar dan hakikat permusuhan antara kami dengan mereka, maka sesungguhnya orang itu tidak memahami hakikat dakwah para Rasul dan tidak mengetahui sebab perseteruan yang sebenarnya antara mereka dengan kaum-kaumnya, sehingga orang yang menyibukan diri dengan hal-hal itu adalah seperti orang yang menyibuki mengobati luka-luka di badan yang terjangkit kanker yang akut lagi mematikan.

Perseteruan itu hai kaum… adalah lebih dasyhat dan jauh lebih besar dari hal itu, sesungguhnya perseteruan itu adalah dalam hal Tauhid dan Syirik, dalam hal kekafiran dan Iman, sesungguhnya ia adalah kekekalan di dalam surga atau dalam api neraka.

tauhid hanya kepada Allah


Segala puji hanya milik Allah, Hakim yang seadil-adilnya yang telah menurunkan Al-Kitab dan Neraca [keadilan] supaya manusia dapat melaksakan keadilan, dan Dia telah menjadikan keadilan yang dengannya langit dan bumi berdiri, terkhusus ada pada syari’at-Nya, dan selain syari’at-Nya adalah aniaya, kedzaliman dan kesesatan sebagaimana firman-Nya subhanahu wa ta’ala :

“Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang Sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?”. [QS.Yunus: 32]

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada penutup para Nabi dan Rasul yang bersabda dalam hadist shahih : “dua qadhi [hakim] di neraka dan satu qadhi di surga”. Adapun qadhi yang di surga maka ia adalah yang mengetahui al-haq [kebenaran] dan dia memutuskan dengannya, sedangkan al-haq itu tidak ada kecuali dalam ajaran Allah Ta’ala.

Ini adalah lembaran-lembaran yang saya ingin menulisnya dalam rangka menjelaskan al-haq dan dalam rangka pelepasan langsung tanggung jawab di hadapan Allah serta peringatan bagi orang yang melampaui batasan-batasan-Nya. Kami berikan kepada hakim, mahkamah keamanan negara [hafidh amin] dan para pembantunya, dan kepada setiap hakim dimana saja yang memutuskan dalam bingkai-bingkai undang-undang buatan yang menentang ajaran Allah Ta’ala ini. Maksud kami di dalamnya bukanlah membela diri kami, karena Allah cukuplah bagi kami, Dia-lah pelindung kami, Dia-lah sebaik-baik pelindung, penolong dan penjaga, Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang Telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” [QS. Al-Hajj: 38]

Dan maksud kami juga bukanlah membela syari’at Allah dan agama-Nya, karena kalimat Allah itulah yang tinggi selamanya, sedangkan al-haq adalah ada di atas dan tidak ada yang lebih tinggi darinya, dan Rasulullah ShalAllahu ‘alaihi wasallam juga telah meninggalkan kita di atas jalan yang terang, malamnya bagaikan siang hari, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali orang yang binasa. Akan tetapi maksud kami dari hal itu adalah sebagaimana apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:

“Dan (Ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: "Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?" mereka menjawab: "Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.” [QS. Al-‘Araf: 164]

Ketahuilah wahai para hakim… bahwa hal itu yang paling pertama, paling penting, serta paling agung yang Allah fardhukan atas semua hamba untuk mempelajarinya dan mengamalkannya sebelum shalat, shaum, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya adalah Tauhid, yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala saja.

Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” [QS.Adz-Dzariyyat: 56]

Para Ahli Tafsir berkata : “Yaitu supaya mereka beribadah kepada-Ku saja, atau supaya mereka men-Tauhidkan –Ku dengan ibadah”. Dan inilah makna Tauhid Laa ilaaha illallooh, dan inilah tujuan terbesar dan sasaran tertinggi serta Al-‘Urwah al-wutsqa’  [ikatan yang paling kokoh] yang karenanya Allah mengutus semu Rasul-Rasul-Nya, dan menurunkan karenanya kitab-kitab-Nya, Allah Ta’ala berfirman:

“Dan kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku.”  [QS.Al-Anbiyaa’: 25]

Dan Allah ‘Azza wa Jalla telah menjelaskan serta menerangkan kalimat ini dengan firmannya:

“Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu,”  [QS.An-Nahl: 36]

Dan tauhid inilah sebab sebenarnya dan sebab inti dalam permusuhan antara para Rasul dengan kaum-kaumnya. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus kepada (kaum) Tsamud saudara mereka Shaleh (yang berseru): "Sembahlah Allah". tetapi tiba-tiba mereka (jadi) dua golongan yang bermusuhan.” [QS.An-Naml: 45]

Firman-Nya : “sembahlah Allah” yaitu: Tauhidkan Allah dalam ibadah dan janganlah kalian menyembah yang lain bersama-Nya. Itu di karenakan kaum-kaum para Rasul itu seperti manusia yang lain, mereka beribadah kepada Allah akan tetapi mereka mengibadati tuhan yang lain bersama-Nya. Jadi dakwah para Rasul itu bukanlah dalam rangka mendakwahi manusia beribadah kepada Allah, shalat kepada-Nya, shaum dan hal-hal lain yang serupa itu saja, karena mayoritas manusia itu adalah mengibadati Allah dengan ibadah-ibadah tersebut, akan tetapi dakwah para Rasul itu adalah dalam rangka peribadatan kepada Allah saja dan berlepas diri dari segala sesuatu yang di ibadati selain-Nya… “sembahlah Allah dan Jauhilah thaghut”.

Dan karena hal itu terjadilah pertikaian dan di atasnya di siksalah para Rasul dan para pengikutnya, mereka di sakiti dan mereka di penjarakan. Allah Ta’ala berfirman seraya mengabarkan tentang fir’aun:

“Fir'aun berkata: "Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar Aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” [QS. Asy-Syu’ara : 29]

Dan dengan sebabnya terpecahlah manusia menjadi dua kelompok, satu kelompok di surga dan satu kelompok lainnya didalam neraka yang menyala, karena ia-lah buhul tali yang amat kokoh yang dengannya Allah Ta’ala menjamin tidak akan terputus dan di atasnya dasarnya Allah menjadikan tolak ukur keselamatan, dimana Dia berfirman:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah pelindung orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”  [QS. Al-Baqarah : 256-257]

Firman-Nya: “barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah”  adalah Tauhid yang di kandung oleh Laa ilaaha illallah.

Thaghut adalah segala sesuatu yang di ibadati selain Allah dengan bentuk peribadatan apa saja sedang dia ridho dengan peribadahannya itu. Bentuk-bentuk thaghut ini bisa beraneka ragam di setiap zaman dan tempat, kadang thaghut itu berupa patung atau berhala yang mana manusia shalat dan sujud kepadanya atau mereka menyembelih dan bernadzar untuknya, dan kadang thaghut itu berbentuk hukum selain Allah yang mana manusia merujuk kepadanya atau berbentuk pembuat hukum selain Allah, baik dia itu penguasa atau wakil rakyat atau dukun yang menetapkan bagi manusia aturan [hukum/undang-undang], perintah dan larangan yang tidak Allah izinkan. Dan begitulah bentuk-bentuk thaghut itu bisa beraneka ragam di setiap zaman dan tempat, namun tetaplah yang dituntut oleh semua Rasul itu adalah satu: “Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut”.

Dan karena itu wajib atas setiap orang yang menginginkan surga dan keselamatan dari api neraka untuk mempelajari makna kalimat yang agung ini dan al-‘urwah al-wutsqa’  itu supaya mengamalkannya. Allah Ta’ala  berfirman:

“Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Tuhan yang haq selain Allah…”  [QS. Muhammad : 19]

Bila dia mempelajarinya, maka ia mengetahui untuk tujuan apa dia di ciptakan, dan untuk apa para Rasul di utus, serta untuk apa kitab-kitab di turunkan ?! dan tentu ia mengetahui jalan yang menghantarkan ke surga serta jalan lain yang menjerumuskan ke neraka.

Dan darinya jelaslah bagi kalian hai para hakim hakikat permusuhan antara kami dengan pemerintah kalian yang menggugurkan syari’at Allah, dan kenapa kami membencinya dan mengkafirkan serta memusuhi wali-walinya [aparat pendukungnya], dan kenapa mereka memerangi kami serta memenjarakan kami serta setiap orang yang menyerukan Tauhid.

Jadi, Laa Ilaaha Illallah itu adalah Nafyun [peniadaan] dan Itsbat [penetapan], dan untuk berpegang pada al-‘urwah al-wutsqa’ yang terhadapnya Allah mengaitkan roda keselamatan ini seseorang harus mengumpukan di dalamnya antara dua rukun tersebut, yaitu nafyun dan itsbat. Penafian saja tidaklah cukup tanpa diserta itsbat, dan begitu juga itsbat tidak cukup tanpa di barengi penafian, akan tetapi mesti mengumpulkan antara dua hal itu.

definisi leasing beserta jenis-jenis nya


Leasing

Leasing (Sewa Guna Usaha / SGU) adalah suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk dipergunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

PERLAKUAN PERPAJAKAN BAGI LESSEE

1. Finance Lease
- selama masa leasing, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang dileasing, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli.
- Setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan.
- Pembayaran leasing oleh lessee merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi leasing tersebut memenuhi ketentuan yang berlaku.
- Dalam hal masa leasing lebih pendek dari masa yang telah ditentukan, DJP melakukan koreksi atas pembebanan biaya leasing.
- Dalam hal terjadi transaksi sale and lease back, harus diperlakukan sebagai 2 (dua) transaksi yang terpisah yaitu transaksi penjualan dan transaksi sewa-guna-usaha. Transaksi penjualan barang modal kepada lessor diperlakukan sebagai penarikan aktiva dari pemakaian oleh sebab biasa. 
- Lessee tidak memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran leasing.
- Atas penyerahan jasa ini dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
2. Operating Lease
- pembayaran operating lease yang dibayar oleh lessee adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
- Lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang dileasing.
- Lessee wajib memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran operating lease yang dibayarkan kepada lessor.
- Atas penyerahan jasa ini terhutang Pajak Pertambahan Nilai.
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:

1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
4. pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
* penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
* penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
* penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi
5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.

atas penghasilan royalti :

1. yang diterima oleh WP dalam negeri wajib dipotong PPh pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto.
2. yang diterima oleh WP luar negeri, tidak termasuk BUT, wajib dipotong PPh pasal 26 sebesar 20% (atau menurut tax treaty/P3B) dari jumlah bruto. Untuk dapat memanfaatkan fasilitas P3B, Wajib Pajak dalam negeri yang membayarkan royalti, harus meyakini hal-hal sebagai berikut :
a. Wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan royalti adalah Subjek Pajak dalam negeri dari negara mitra P3B Indonesia yang dibuktikan dengan dokumen SKD, dan
b.Wajib Pajak luar negeri tersebut adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan royalti, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat dari penghasilan tersebut sebagaimana dimaksud dalam P3B


Apakah Pemanfaatan hasil karya sinematografi termasuk dalam pengertian royalti ? 
Pemanfaatan hasil Karya Sinematografi dapat dilakukan melalui suatu perjanjian penggunaan hasil Karya Sinematografi:
a. dengan pemindahan seluruh hak cipta tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari;
b. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya,dengan persyaratan tertentu seperti penggunaan Karya Sinematografi untuk jangka waktu atau wilayah tertentu;
c. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan ciptaannya dengan menggunakan pola bagi hasil antara pemegang hak cipta dan pengusaha bioskop; atau
d. dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya. 

Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari penggunaan hasil Karya Sinematografi sebagaimana dimaksud dalam :
1. huruf a dan huruf d, tidak termasuk dalam pengertian royalti.
2. huruf b dan huruf c, termasuk dalam pengertian royalti. DPP untuk huruf b sebesar seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta, sedangkan DPP untuk huruf c sebesar 10% dari bagi hasil.

ANTARA KREDIT DAN LEASING MANA YANG LEBIH MENGUNTUNGKAN ?



Apa yach bedanya kredit dengan leasing ? dan mana yang lebih menguntungkan bagi perusahaan dari sisi pajak atas dua jenis transaksi tersebut ?
Pertanyaan seperti diatas masih sering timbul pada saat perusahaan akan mengambil suatu keputusan apakah akan membeli suatu aktiva secara kredit atau melakukan leasing atas aktiva tersebut.

Yang akan ditinjau disini adalah perlakuan perpajakan dalam hal pembayaran berkala yang akan dilakukan oleh perusahaan, baik untuk pembayaran angsuran dalam hal pembelian kredit, ataupun lease payment dalam hal leasing.

Pembayaran Angsuran Kredit.

Yang dimaksud dengan pembelian secara kredit adalah pembelian suatu aktiva yang tidak 

langsung dibayar secara lunas, tapi dibayar dengan cara angsuran ditambah dengan biaya bunga.
Sebenarnya yang menjadi masalah dalam pembelian kredit ini adalah apakah biaya bunga tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan ?
Dalam Pasal 6 ayat 1 huruf (a) UU PPh Tahun 2000 diketahui bahwa biaya bunga dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, sepanjang pembelian aktiva tersebut berhubungan dengan kegiatan perusahaan.

Kemudian apakah aktiva tersebut langsung dapat diperhitungkan biaya penyusutannya ? dan berapa nilai dari aktiva tersebut, apakah biaya bunganya juga dikapitalisir kedalam nilai aktiva tersebut ?
Aktiva tersebut langung dapat diperhitungkan biaya penyusutannya tanpa harus menunggu sampai aktiva tersebut dibayar lunas. 
Sedangkan biaya bunga untuk mendapatkan aktiva, yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun, adalah dikapitalisir kedalam nilai aktiva yang bersangkutan, sehingga menambah nilai aktiva tersebut. Dan pembebanan biayanya tidak boleh dilakukan sekaligus melainkan dibebankan melalui penyusutan.


contoh perhitungan PPh


Arip Nugraha melakukan jasa perawatan AC kepada PT Wahana Jaya dengan imbalan Rp 10.000.000,00. Arip Nugraha mempergunakan tenaga 5 orang pekerja dengan membayarkan upah harian masing-masing sebesar Rp 180.000,00. Upah harian yang dibayarkan untuk 5 orang selama melakukan pekerjaan sebesar Rp 4.500.000,00. selain itu, Arip Nugraha membeli spare part AC yang dipakai untuk perawatan AC sebesar Rp 1.000.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebagai berikut:
a. Dalam hal berdasarkan perjanjian serta dokumen yang diberikan Arip Nugraha, dapat diketahui bagian imbalan bruto yang merupakan upah yang harus dibayarkan kepada pekerja harian yang dipekerjakan oleh Arip Nugraha dan biaya untuk membeli spare part AC, maka jumlah imbalan bruto sebagai dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya atas imbalan yang diberikan kepada Arip Nugraha adalah sebesar imbalan bruto dikurangi bagian upah tenaga kerja harian yang dipekerjakan Arip Nugraha dan biaya spare part AC, sebagaimana dalam contoh adalah sebesar:
Rp 10.000.000,00 - Rp 4.500.000,00 - Rp 1.000.000,00 = Rp 4.500.000,00.

PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya atas penghasilan yang diterima Arip Nugraha adalah sebesar:
5% x 50% x Rp 4.500.000,00 = Rp 112.500,00

Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya menjadi:
5% x 120% x 50% x Rp 4.500.000,00 = Rp135.000,00
b. Dalam hal PT Wahana Jaya tidak memperoleh informasi berdasarkan perjanjian yang dilakukan atau dokumen yang diberikan oleh Arip Nugraha mengenai upah yang harus dikeluarkan Arip Nugraha atau pembelian material/bahan, PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT Wahana Jaya adalah jumlah sebesar :
5% x 50% x Rp 10.000.000,00 = Rp250.000,00

Dalam hal Arip Nugraha tidak memiliki NPWP maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Wahana Jaya menjadi:
5% x 120% x 50% x Rp 10.000.000,00 = Rp 300.000,00
Catatan:
Untuk pembayaran upah harian kepada masing-masing pekerja wajib dipotong PPh Pasal 21 oleh Arip Nugraha.

Untuk Tahun Pajak 2009 ada beberapa tarif untuk menghitung Pajak Terhutang, yaitu :

a. Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b
Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, yaitu sebesar 28%.
PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan penghasilan kena pajak.

Contoh:
Jumlah peredaran bruto dalam tahun pajak 2009 Rp 54.000.000.000
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 4.000.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang = 28% x Rp 4.000.000.000
= Rp 1.120.000.000

b. Tarif PPh Pasal 17 ayat (2b)
Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya. Wajib Pajak tersebut dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
PPh terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan penghasilan kena pajak.

Contoh:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 1.250.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang = (28% - 5%) x Rp1.250.000.000
= Rp 287.500.000.
Lihat : Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka.

c. Tarif PPh Pasal 31E
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Penghitungan PPh terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Jika peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:
PPh terutang = 50% X 28% X seluruh Penghasilan Kena Pajak

2) Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:
PPh Terutang =(50% X 28%) X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas + 28% X Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas yaitu:
(Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) X Penghasilan Kena Pajak

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas yaitu Penghasilan Kena Pajak - Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas.

Contoh 1):
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 4.500.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000.

Penghitungan pajak yang terutang yaitu seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang = 50% x 28% x Rp 500.000.000
= Rp 70.000.000

Contoh 2):
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp 30.000.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000.
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
§
= (Rp 4.800.000.000 : Rp 30.000.000.000) x Rp 3.000.000.000
= Rp 480.000.000

 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas
§
= Rp 3.000.000.000 – Rp 480.000.000 = Rp 2.520.000.000

 Pajak Penghasilan yang terutang
§
= (50%x 28% x Rp480.000.000) + (28% x Rp2.520.000.000)
= Rp 67.200.000 + Rp 705.600.000
= Rp772.800.000

Catatan: Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.

PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI ORANG PRIBADI YANG BERSTATUS SEBAGAI BUKAN PEGAWAI


Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7. agen iklan;
8. pengawas atau pengelola proyek;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas penjaja barang dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi;
12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;

PETUNJUK UMUM PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 BAGI ORANG PRIBADI YANG BERSTATUS SEBAGAI BUKAN PEGAWAI
1. Pemotongan PPh Pasal 21 bagi orang pribadi dalam negeri bukan pegawai, atas imbalan yang bersifat berkesinambungan
a. Bagi yang telah memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan. Besarnya penghasilan kena pajak adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
b. Bagi yang tidak memiliki NPWP atau memperoleh penghasilan lainnya selain dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 serta memperoleh penghasilan lainnya. 
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dalam tahun kalender yang bersangkutan.

2. Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan Pegawai, atas Imbalan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto.
3. Dalam hal bukan pegawai adalah dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayarkan pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik. 
4. Dalam hal bukan pegawai memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26:
a. mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan; 
b. melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang.



Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak


1.Pajak Penghasilan (PPh)

PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

2.Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara diatasnya.

3.Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)

Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :

a.Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b.Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c.Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
d.Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e.Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.

4.Bea Meterai

Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.

5.Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

6.Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :

1.Pajak Propinsi

a.Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b.Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c.Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
d.Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

2.Pajak Kabupaten/Kota
a.Pajak Hotel;
b.Pajak Restoran;
c.Pajak Hiburan;
d.Pajak Reklame;
e.Pajak Penerangan Jalan;
f.Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
g.Pajak Parkir.

Manfaat Pajak 

Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.

Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.




Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.

Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :
1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7. agen iklan;
8. pengawas atau pengelola proyek;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
10. petugas penjaja barang dagangan;
11. petugas dinas luar asuransi;
12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;